MAKALAH AKHLAK TASAWUF
TENTANG
“KONSEP TENTANG ITTIHAD DAN HULUL”
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD RAHMAN (201584)
ZULFAKAL ZAINALDO (201591)
DOSEN PENGAMPU : SATRIO,M.A
JURUSAN TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SULTAN ABDURRAHMAN KEPRI 2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur kehadirat Allah SWT
kami panjatkan, karena atas hidayah, karunia serta limpahan rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sebagai mana mestinya. Makalah yang berjudul “Konsep Tentang Ittihad dan
Hulul” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak tasawuf dengan dibimbing oleh
dosen pengampu yaitu Bapak Satrio,M.A.
Penulis Berharap Semoga Dengan Tersusunnya Makalah Ini Dapat Berguna Bagi
Pembaca Dan Semoga Segala Yang Tertuang Dalam Makalah Ini Dapat Bermanfaat Bagi
Penulis Maupun Bagi Para Pembaca Dalam Rangka Membangun Khasanah Keilmuan.
Makalah ini tersusun dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan, oleh karenanya
kritik, saran serta masukan yang sifatnya membangun sangat diharapkan sebagai bahan
perbaikan makalah ini, Jazakumullahu Khairan Katsiran.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………………………………………… 1
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………. 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………. 4
1.1
Latar Belakang …………………………………………………………………………………………..4
1.2
Rumusan Masalah …………………………………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………….. 6
2.1
Pengertian, Tokoh, dan Ajaran Ittihad ……………………………………………………………… 6
2.2
Pengertian, Tokoh, dan Ajaran Hulul……………………………………………………………… 10
2.3
Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul ……………………………………………. 14
2.4
Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam ……………………………………… 14
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………………………….. 17
3.1
Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………… 17
3.2
Kesan ………………………………………………………………………………………………………… 17
3.3
Saran …………………………………………………………………………………………………………. 18
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi dikalangan para ahli sufi, karena didalamnya mengandung berbagai permasalahan yang berhubungan dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang rumit dan memahami pemahaman mendalam.
Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang disebut sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa tahap. Pertama, yaitu fase asketis ( zuhud ) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua Hijriyah, sikap asketis ini dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan individu dalam sejarahnya. Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya berkembang menjadi tasawuf. Meskipun tidak pasti dan pasti, corak tasawuf dapat dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan satu tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang. Tasawuf sejarah sebagai ajaran ajaran hati dan jiwa memiliki perkembangannya dari masa ke masa.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari tasawuf sunni yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi terhadap tasawuf semi falsafi maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi falsafi dilakukan oleh al-Qusyairi, al-Harawi, al-Ghazali dan lain sebagainya. Dan reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat yang diantara yang latar belakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar senantiasa berada pada koridor syari’at.
1.2 Rumusan Masalah
➢ Apa Pengertian Ittihad dan Hulul ?
➢ Siapa Sajakah Tokoh Pembawa Paham Ittihad dan Hulul ?
➢ Apa Sajakah Persamaan dan Perbedaan dari Ittihad dan Hulul ?
➢ Bagaimanakah Perspektif Islam Terkait Konsep Ittihad dan Hulul ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ittihad
A. Pengertian Ittihad
Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa’, bersatu dengan Allah. Ittihād dalam ajaran tasawuf kata Ibrahim Madkur adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai dalam perjalanan jiwa manusia. Menurut Harun Nasution, ittihad adalah satu tingkatan seorang sufi yang telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan ketika yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “Hai aku”.
Dalam pemahaman ini, seseorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa’. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa’). Inilah inti ittihad, “diam pada kesadaran ilahi”.
Tokoh pembawa paham ittihad adalah Abu Yazid Al-Bustami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadarannya (sebagai manusia) maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
B. Biografi Singkat Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid memiliki nama lengkap Abu Yazid Taifur bin ‘Isa bin Surusyan AlBustami. Dia dilahirkan sekitar tahun 200 H / 814 M di Bustam, salah satu di daerah Qumais, bagian Timur Laut Persia. Ia salah seorang tokoh sufi yang terkenal dalam abad ketiga hijriah. Surusyan, kakeknya Abu Yazid, adalah seorang penganut Zoroaster yang kemudian menganut Islam di Bustam. Keluarganya cukup berada, namun Abu Yazid memilih hidup secara sederhana. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahun Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya sedikit tidur, makan, dan juga minum.
Sebagaimana anak dan remaja muslim lainnya, ia pada masa mudanya mendalami al-Qur’an dan hadits. Ia juga menekuni fiqih Hanafi, kemudian dia memperoleh pelajaran tentang ilmu tauhid dan ilmu hakikat begitu juga tentang fana fari Abu Ali Sindhi, sehingga tidak perlu diragukan bahwa di masa mudanya ia sudah memiliki pengetahuan agama yang luar biasa.
Abu Yazid al-Bustami adalah seorang zahid yang terkenal. Menurutnya zahid itu adalah seseorang yang mampu atau bisa mendo’akan dirinya untuk selalu berdekatan dengan Allah. Menurutnya hal ini dapat ditempuh melalui tiga fase atau tahapan, yaitu: pertama zuhud terhadap dunia, kedua zuhud terhadap akhirat, dan ketiga zahid terhadap selain Allah. Dalam tahapan terakhir ini dia berada dalam kondisi mental yang membuat dirinya tidak mengingat apa-apa selain Allah, yang ada hanyalah Allah belaka.
Abu Yazid juga seorang sufi yang membawa paham yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para tokoh-tokoh sufi sebelumnya. Ajaran yang dibawanya banyak di tentang oleh para ulama fiqih dan tauhid, yang menyebabkan dia keluar masuk penjara.
Dia memiliki banyak pengikut yang percaya dengan ajaran-ajaran yang diajarkannya. Pengikut-pengikutnya menamakan dirinya taifur. Sayang sekali bahwa al-Bustami, yang berusia panjang dan kaya dengan pengalaman-pengalaman kesufian, tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran pandangannya hanya dapat diketahui melalui
catatan-catatan yang dibuat oleh para muridnya, atau oleh tokoh-tokoh sufi lainnya
yang pernah berjumpa dengannya. Jika tidak ada pengarang seperti al-Attar, orang tidak
akan mengenalnya sama sekali. Beberapa catatan mengenai hidupnya hanya berupa
anekdot-anekdot sufi belaka.
Beliau meninggal pada tahun 261 H / 875 M, dan makamnya masih ada hingga saat ini. Makamnya yang terletak di tengah-tengah kota, menarik banyak pengunjung dari berbagai tempat. Ia dikuburkan berdampingan dengan kuburan Hujwiri, Nasir
Khusraw dan Yaqut. Pada tahun 1313 M didirikan di atasnya sebuah kubah yang indah
oleh seorang sultan Mongol, Muhammad Khodabanda atas nasihat gurunya Syekh
Syafruddin, salah seorang keturunan dari Bustam.
C. Ajaran Ittihad
Dalam literatur klasik, pembahasan tentang ittihad jarang bisa dijumpai. Mungkin karena alasan keselamatan jiwa atau memang karena ajaran ini sulit dipraktikkan.
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.Dengan mengutip A. R. Al-Baidhawi, Harun Nasution juga menjelaskan bahwa dalam ittihad, yang dilihat hanya satu wujud, sungguh pun ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, dalam ittihad bisa terjadi pertukaran antara yang mencintai dan yang dicintai.
Orang yang telah sampai ketingkat ini, dia dengan Tuhannya telah menjadi satu, terbukalah dinding baginya, dia dapat melihat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, mendengar sesuatu yang tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas di hati. Pada saat itu sering keluar ucapan-ucapan yang ganjil dan aneh yang
disebut tasawuf dengan syatahat.
Ittihad itu akan tercapai kalau seorang sufi telah dapat menghilangkan kesadarannya. Dia tidak mengenal lagi wujud tubuh kasarnya dan wujud alam sekitarnya. Namun lebih dari itu sebenarnya. Menurut Nicolson, dalam paham ittihad hilangnya kesadaran adalah permulaan untuk memasuki tingkat ittihad yang sebenarnya dicapai dengan adanya kesadaran terhadap dirinya sebagai Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dengan kesinambungan hidup setelah kehancuran (“abiding after passing away”, al-baqa’ ba’ad al-fana’). Dan hilangnya kesadaran (fana’) yang merupakan awal untuk memasuki pintu ittihād itu adalah pemberian Tuhan kepada
seorang sufi. Sekarang kalau memang fana’ yang merupakan prasyarat untuk mencapai
ittihad itu adalah pemberian Tuhan, maka pemberian itu akan datang sendirinya setelah
seorang sufi dengan kesungguhan dan kesabarannya dalam ibadah dalam usaha
memberikan jiwa sebagaimana dikemukakan di atas.
Paham ittihad ini dalam istilah Abu Yazid disebut tajrīd fana’ fīal-tauhīd,(Aboebakar Atheh, 1984: 136). yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid tentang peristiwa mi’rajnya berikut ini akan memperjelas pengertian ini. Dia mengatakan :Pada suatu hari aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia berkata : Abu Yazid makhluk-Ku ingin melihat engkau, Aku Menjawab : Kekasih-Ku, aku tidak ingin melihat mereka. Tetapi jika itulah kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya untuk menentang kehendak-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat daku, mereka akan berkata ‘Telah kami lihat Engkau. Tetapi yang merasa lihat akan aku tidak ada di sana.’
Rangkaian ungkapan Abu Yazid ini merupakan ilustrasi proses terjadinya
ittihad pada bagian awal ungkapan itu melukiskan alam ma’rifah dan selanjutnya
memasuki alam fana’ ‘an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan
akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad ini lebih jelas lagi dalam ungkapannya,
Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah makhluk-Ku. Atau pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau (Harun Nasution, 1973: 85). Selanjutnya Abu Yazid berkata : “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku”
Secara lahiriyah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid di atas itu seakan-akan ia mengaku dirinya Tuhan. Akan tetapi bukan demikian maksudnya. Di sini Abu Yazid mengucapkan kata “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yazid sendiri, tetapi sebagai gambaran Tuhan, karena Abu Yazid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dengan kata lain Abu Yazid dalam ittihad berbicara dengan nama Tuhan. Atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yazid. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan ‘Sebenarnya Dia berbicara melalui lidahku sedangkan aku sendiri dalam keadaan fana’.
Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan. Kata-kata serupa di atas bukan diucapkan oleh Abu Yazid sebagai kata-katanya sendiri, tetapi kata-kata itu diucapkan dalam keadaan ittihad.
Proses terjadinya fana’ hingga mencapai ittihad atau menyatu dengan wujud Allah digambarkan sebagai berikut : Pada awal mulanya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah memulai menyaksikan keindahan wajah Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah lantaran telah mulai menyaksikan keindahan wajah Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan kefanaannya itu sendiri lantaran telah merasa lebur atau menyatu dalam wujud Allah.
Kutipan di atas memperhatikan bahwa sebelum terjadinya itihad, seorang sufi harus melalui tiga tahapan, Yaitu pertama, lenyapnya kesadaran akan alam sekelilingnya lantaran seluruh kesadarannya telah beralih dan terpusat ke alam batin. Itulah baqa’ dalam penghayatan ghaib yang dalam tasawuf dinamakan kasyf. Pada tingkat kedua mulai menyaksikan langsung apa yang mereka yakini sebagai zat AlHaqq (Tuhan). Itulah penghayatan ma’rifatullah. Yang mereka hayati dalam alam kejiwaan sewaktu fana’.
Pada tingkat ketiga atau pada puncak penghayatan ma’rifah adalah fana’ al-fana’, yakni lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya lantaran telah terhisap dan luluh dalam kesatuan dengan Tuhannya. Salah satu dalil tentang adanya fana’ ini yang sering disitir dalam kitab-kitab tasawuf adalah firman Allah dalam surah Yusuf ayat 31 sebagai berikut: “Maka tatkala wanita itu (Zulaikha) mendengar cercaan mereka, diundangnya lah wanita-wanita itu dan disediakannya bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada Yusuf) : “Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka.” Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa) nya dan mereka melukai (jari) tangannya dan berkata: “Maha sempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia”. (Surat Yusuf/12: 31).
Dalam mengomentari ayat di atas Imam al-Qusyairi berkata: Ini baru ketuhanan seorang makhluk tatkala menyaksikan keindahan makhluk lain.sudah fana’. Bayangkan bagaimana seorang sufi yang menghayati terbukanya tabir lalu menyaksikan keindahan wajah Ilahi. Jadi tidak mengherankan bila dia fana’, tidak sadar akan dirinya dan akan makhluk sejenisnya (Al-Qusyairi, t.th.: 68). Hanya dengan melihat wajah Nabi Yusuf yang tampan, mereka telah terpesona hingga tak sadar, memotong jari mereka dan tidak merasa sakitnya. Apalagi bagi sang sufi yang terpesona melihat keelokan wajah Tuhannya yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Untuk memahami pengalaman mistis seperti yang diuraikan di atas patut diperhatikan pernyatakan William James dalam bukunya The Varieties of Religion Experience. Menurutnya ada empat karakter khas pengalaman mistis, dan dengan cara menjelaskan keempat karakter tersebut diharapkan mampu menghindari dari perselisihan verbal dan sikap saling menyalahkan.
Empat karakter tersebut ialah sebagai berikut :
– Tidak bisa diungkapkan. Orang yang mengalaminya mengatakan bahwa pengalaman itu tidak bisa diungkapkan, tidak ada uraian manapun yang memadai untuk bisa mengisahkannya dalam kata-kata. Ini berarti bahwa kualitas semacam ini harus dialami secara langsung dan tidak bisa diberikan atau dipindahkan kepada orang lain.
– Kualitas neotik. Meskipun sangat mirip dengan situasi perasaan, bagi orang yang
mengalami situasi mistis ini juga adalah situasi berpengetahuan. Dalam situasi ini,
orang mendapatkan wawasan tentang kedalaman kebenaran yang tidak bisa digali
melalui intelek yang bersifat diskursif. Semua ini merupakan peristiwa pencerahan dan
pewahyuan yang penuh dengan makna dan arti yang hanya bisa dirasakan.
– Situasi transien. Keadaan mistik tidak bisa dipertahankan dalam waktu yang cukup
lama. Kecuali pada kesempatan-kesempatan yang jarang terjadi, batas-batas yang bisa
dialami seseorang sebelum kemudian pulih kekeadaan biasa adalah sekitar setengah
jam, atau paling lama satu atau dua jam.
– Kepasifan. Datangnya situasi mistik bisa dikondisikan oleh beberapa tindakan
pendahuluan yang dilakukan secara sengaja, seperti melakukan pemusatan pikiran,
gerakan tubuh tertentu, atau menggunakan cara-cara yang diuraikan dalam pelbagai
buku panduan mistisime. Meskipun demikian, saat kesadaran khas yang ada pada situasi ini muncul, sang mistikus merasa bahwa untuk sementara hasratnya menghilang dan ia merasa direngkuh dan dikuasai oleh suatu kekuatan yang lebih tinggi.
Dengan mengikuti keterangan zaman diatas , maka situasi ittihad Abu Yazid harus dipahami dalam konteks pengalaman kejiwaan seorang sufi. Sebagai pengalaman kejiwaan yang berdimensi spiritual tentu sangat bersifat personal dan unik. Hal ini dapat dilihat dari ciri-ciri : Sangat sulit, bahkan mustahil di ungkapkan dengan kata-kata, menimbulkan pencerahan dan kesadaran adanya Yang Mahakuasa yang menguasai ruang dan waktu, hanya terjadi dalam waktu singkat, dan berlakunya kepasifan total yang di awali dengan perasaan tertentu yang meredakan segala hasrat dan diakhiri dengan perasaan dikuasai oleh suatu daya yang luar biasa.
2.2 Hulul
A. Pengertian Hulul
Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagaimana dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut berbunyi : “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan ”Menurut Al-Hamdany (Sanggahan Terhadap Tasawuf dan Ahli Sufi. 1969, Hal : 19) menyebutkan bahwa, hulul merupakan kepercayaan manusia bahwa Allah bersemayam ditubuh salah seorang yang kiranya bersedia untuk ditempati, karena kemurnian jiwanya dan kesulitan ruhnya.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar dari roh Allah (An-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri manusia.
Hulul atau juga sering disebut “peleburan antara Tuhan dan manusia” adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah. Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia. Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
B. Biografi Singkat Mansur Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir pada tahun 244 H/855 M di Baidhah, sebuah kota kecil di wilayah Persia. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal yaitu Sahl bin Abdullah At-Tusturi di Ahwaz. 2 tahun kemudian ia pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M ia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al Junaid. Melalui pengembaraannya ke berbagai wilayah Islam, Al Hallaj mendapatkan banyak pengikut. Ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 909 M. Pengikutnya pun bertambah banyak.
Al Hallaj bersahabat dengan Nashr Al Khusyairi, seorang kepala rumah tangga istana. Ia selalu mendorong sahabatnya itu untuk melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan menyampaikan kritik terhadap penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang bersih” itupun dirasa berbahaya oleh pemerintah saat itu. Apalagi, di sisi lain ajaran tasawuf dan aliran-aliran keagamaan tumbuh dengan subur. Pemerintah menjadi khawatir akan kecaman-kecaman dan kritik yang ditunjukkan padanya serta khawatir pada pengaruh sufi terhadap struktur politik. Maka, Al Hallaj pun dipenjarakan. Karena ucapannya, “anna al haqq”, itu dianggap sebagai sebuah kemurtadan dan tidak bisa dimaafkan oleh para ulama fiqh.
Setahun kemudian Al Hallaj berhasil meloloskan diri dari penjara, namun 4 tahun kemudian ia kembali tertangkap. Setelah 8 tahun menjalani masa hukuman, Al Hallaj dihukum gantung. Ia wafat pada tahun 922 M. Namun, ajarannya masih tetap berkembang. Pengikutnya menamakan dirinya “Hallajiyah” Setelah 1 abad kematiannya pengikutnya di Baghdad mencapai 4000 orang.
C. Ajaran Hulul
Menurut al-Hallaj manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat Ketuhanan atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Demikian juga halnya tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat dan lahut dan sifat Insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana’, maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia pertama diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya shurah minn nafsih dengan segenap sifat dan kebesarannya, sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya.yang berbunyi :
Maha suci dzat yang menampakkan nasut-nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian padu makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Al Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia terdapat sifat-sifat ketuhanan yang didasarkan pada Q.S. Al Baqarah:34 yang artinya :“Dan Ingatlah ketika Kami berfirman kepada malaikat, ‘Sujudlah kamu kepada Adam!’ Maka merekapun sujud, kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir.”
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar malaikat sujud kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia harus disembah sebagaimana meyembah Allah. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, tuhan melihat Dzat-Nya. Ia pun cinta kepada Dzat-Nya dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang memiliki segala sifat dan nama. Adam adalah bentuk copy tersebut. Pada diri Adam lah Allah Swt muncul.
Al hallaj memperlihatkan bahwa tuhan memiliki dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya (lahut) dan sifat kemanusiaan (nasut). Jika nasut Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri atas roh dan jasad, lahut tidak dapat bersatu dengan manusia, kecuali dengan menempati tubuh setelah kemanusiaannya hilang. Seperti yang terjadi pada diri Isa.
Persatuan tuhan dengan manusia dapat terjadi dengan mengambil bentuk hulul. Agar bersatu, manusia harus meninggalkan sifat-sifat kemanusiaannya. Setelah kemanusiaannya hilang dan hanya tinggal sifat ketuhanan, saat itulah tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya dan ketika itu roh tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia.
Menurut Al Hallaj, hulul mengandung kefanaan total. Kehendak manusia dalam kehendak illahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak tuhan. Demikian juga tindakannya.Bagaimana gambaran hulul itu dapat dipahami dari ungkapan al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukma-Mu dalam rohku jadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh, tertusuk pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu Aku jua,
Kami dua jiwa padu jadi satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas, terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana’ dalam iradat Allah. Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri manusia, bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana al-haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab, yang mengucapkan kalimat itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah al-Hallaj. Al Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya tuhan dan tidak juga sama dengan tuhan. Ia mengatakan : “Barang siapa yang mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, maka kafirlah ia. Sebab Allah Swt. Mandiri dalam Dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekalipun menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupainya. Interpretasi ini sesuai pula dengan pernyataan al-Hallaj dalam syair berikut:
Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Aku bukanlah Yang Maha Benar,
Aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara Kami.
Lagi pula, adalah sangat tidak logis apabila seorang sufi yang sepanjang usianya merindukan dan mencari Tuhan, mengaku dirinya sebagai Tuhan.
2.3 Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul
Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan syatahat
Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).
2.4 Konsep Hulul dan Ittihad Dalam Perspektif Islam
Hulul dan ittihad erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati, ucapan orang munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati, tauhid muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa, tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam buku.
Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui sarana Intuisi yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman inderawi. Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keterpisahan kedua (al-farq al-tsani) yang dialami setelah seseorang mengalami transformasi dimana seseorang melampaui keragaman dan dia mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memperoleh visi tentang kesatuan segala sesuatu dalam Asal transendennya. Keterpisahan kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang beragam dan terpisah (the world of multiplicity in separateness) dengan cara berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki semua orang.
Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” Dalam ayat ini Allah swt. Mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan pengalaman langsung dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan manusia, mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan pembedaan antara mereka sebagai hamba dan Tuhan.
Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas. Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian berkembang dalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis menjadi apa yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi. Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi yakni kuiditas (quiddity), yang secara ontologis merupakan substansinya dan eksistensi yang dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar dan pengalaman awam.
Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-Quran, Tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas eksternal (extra-mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran. Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan (qualification) esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan pembatasan-pembatasan (delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-embracing and pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing reality of Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda (Its multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan penyusutan (qabdl) nerkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami dalam keterpisahannya dari Realitas, bukanlah sesuatu dalam yang berada, karena ia adalah sesuatu yang (selalu) musnah. Apa yang sebenarnya ’ada’ adalah aktualisasi dari salah satu mode dari Realitas. Jadi, Eksistensilah yang merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang selama ini dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden untuk eksistensi. Konsep Hulul dan Ittihad dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang berpengaruh terhadap setiap aspek kehidupan Muslim. Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah Menyelesaikan Penyususan Makalah Ini, Penulis Dapat Mengambil Kesimpulan Bahwa Kata Ittihad berasal dari kata ijtahada yajttahidu ijtihadan yang berarti kebersatuan. Ittihad menurut Abu Yazid Al Bustami, secara komperhensif maupun etimologis, berarti integrasi, menyatu atau persatuan (unity). Ittihad memiliki arti “bergabung menjadi satu”. Kata al-hulul adalah bentuk masdar dari kata kerja halla yang berarti tinggal atau berdiam diri. Secara terminologis kata al-hulul diartikan dengan paham bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk atau benda. Di samping itu, al-hulul berasal dari kata halla yang berarti menempati suatu tempat (halla bi al-makani). Jadi pengertian hulul secara bahasa adalah menempati suatu tempat.
Persamaan Serta Perbedaan Ittihad dan Hulul :
– Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abu Yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Dalam ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan syatahat
– Adapun letak perbedaannya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul, roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluk).
Dalam memahami Hulul dan ittihad para ulama tidak bergantung pada penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.
3.2 Saran
Dengan disusunnya makalah akhlak tasawuf dengan judul “Konsep Tentang Ittihad dan Hulul” ini, Penulis mengharapkan pembaca dapat mengetahui lebih jauh, lebih banyak, dan lebih lengkap tentang Pembahasan konsep ittihad dan hulul, Pembaca dapat membaca dan mempelajari konsep ittihad dan hulul dari berbagai sumber, baik dari intenet maupun media informasi lainnya, Karena penulis hanya membahas secara garis besarnya saja. Disini penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, Sehingga kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, Agar dalam penyusunan makalah pada kesempatan selanjutnya lebih baik lagi.
Daftar Pustaka
http://kumal11.blogspot.com/2018/04/akhlak-tasawuf-ittihad-dan-hulul.html?m=1
http://enengsusanti.blogspot.com/2014/04/ittihad-hulul-makalah-akhlaq-tassawuf.html?m=1
Mustofa, A. 2014. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Nata, Abuddin. 1996. Akhlaq Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nasirudin. Pendidikan Tasawuf. 2009.
Van-Hoeve,Ensiklopedia Islam,penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 77-78.
Dr. Mustafa Zahri,Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT BINA ILMU, 1998, H 232.
Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy,jilid II, (bairud: dar alkitab, 1979), hlm 167.