TANJUNGPINANG KEPULAUAN RIAU :
Indonesia adalah sebuah negeri tempat tumbuh suburnya beragam kebudayaan yang
di pelihara dan dijaga oleh masyarakatnya. Di negeri ini terdapat lebih dari 740 suku bangsa
atau etnis serta 583 bahasa dan dialek dari 67 bahasa induk yang digunakan berbagai suku
bangsa (Truna 2010:1). Di samping itu, mereka juga menganut berbagai agama seperti Islam,
Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Kong Hu Chu dan beratus agama dan kepercayaan
setempat yang menjadi bagian dari kebudayaan lokal setempat. Keragaman budaya
(multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai budaya,
Berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya,
memiliki cara hidup berlainan dan spesifik. Keragaman seperti keragaman budaya, latar
belakang keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas
masyarakat Indonesia (Akhmadi 2019). Al–Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang
lengkap dan sempurna, dan sekaligus sebagai sumber hukum yang pertama bagi umat Islam.
Al–Qur’an merupakan sebuah kitab yang menjadi petunjuk kepada siapa saja yang
membutuhkannya, menjadi contoh dan pengajaran kepada siapa saja yang mau
mentadabbur–nya (Anwar 2009)
Moderasi Islam (Islam Wasatiyah) ini menjadi diskursus yang sangat hangat. Dalam
mengartikulasikan ajaran Islam kadang muncul pandangan ekstrem oleh sebagian kelompok,
sehingga kadang memicu aksi–aksi intoleran dan kekerasan. Dalam Islam, rujukan beragama
memang satu, yaitu Al–Qur’an dan Al–Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah
Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas
sendiri–sendiri dalam praktik dan amaliah keagamaan. Tampaknya perbedaan itu sudah
menjadi kewajaran, sunatullah, dan bahkan suatu rahmat. Quraish Shihab (2007) mencatat,
bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Alah.
Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah,
bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab–kitab suci,
penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.
Dalam praktik keagamaan, ajaran suatu agama yang muncul ke permukaan umumnya
memiliki wajah ganda di mana aspek das sollen (ide moral) seringkali berseberangan dengan
fakta sosial keagamaan yang ada di lapangan (das sein). Dalam konteks ini, sikap intoleran
yang diperagakan oleh kelompok Muslim garis keras pada dasarnya telah mencederai citra
Islam yang telah dikenal baik sebagai agama yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Sikap keras dan intoleran tentu akan mengubur tujuan utama ajaran Islam dalam memelihara
jiwa, agama, harta, keturunan, dan akal. Padahal, jejak rekam perilaku nabi Muhammad yang
tercatat dalam berbagai literatur hadis menunjukkan potret yang berbeda. Nabi Muhammad,
sebagaimana misi utamanya diutus oleh Tuhan, mempunyai peran untuk menyempurnakan
akhlak atau kebaikan. Dalam posisi ideal inilah, merujuk kepada Nabi untuk melihat aspek
moderasi Islam (wasatîyah) menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Untuk memahami
dan mengimplementasikan konsep ini, perlu untuk melihat hadis–hadis Nabi secara lebih
komprehensif. Dengan hal tersebut, keteladanan Nabi akan mampu diterjemahkan ke dalam
konsep–konsep dan nilai–nilai luhur yang bersifat universal, untuk selanjutnya bisa menjadi
pedoman masyarakat Muslim dalam menjalankan ritual dan sosial keagamaannya
(Ardiyansyah 2016).
a. Moderasi
Kata moderasi berasal dari bahasa Latin yaitu moderâtio, yang artinya adalah
ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata tersebut mengandung makna
penguasaan diri dari sikap sangat kelebihan dan sikap kekurangan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia kata moderasi mengandung dua pengertian yaitu 1. Pengurangan
kekerasan, dan 2. Penghindaran keekstreman, sedangkan kata moderat adalah selalu
menghindarkan perilaku yang ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi jalan tengah.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin orang yang moderat adalah orang yang bersikap wajar,
biasa–biasa saja, dan tidak ekstrem. Dia menambahkan lagi bahwa dalam bahasa Inggris,
kata moderation sering digunakan dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard
(baku), atau non–aligned (tidak berpihak). Secara umum, moderat berarti mengedepankan
keseimbangan dalam hal keyakinan, moral, dan watak, baik ketika memperlakukan orang
lain sebagai individu, maupun ketika berhadapan dengan institusi negara (Saifuddin 2019).
Sedangkan dalam bahasa Arab, moderasi dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah,
yang memiliki padanan makna dengan kata tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan
tawazun (berimbang). Orang yang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith.
Dalam bahasa Arab pula, kata wasathiyah diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apa pun kata
yang dipakai, semuanya menyiratkan satu makna yang sama, yakni adil, yang dalam konteks
ini berarti memilih posisi jalan tengah di antara berbagai pilihan ekstrem. Kata wasith
bahkan sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata ‘wasit’ yang memiliki tiga
pengertian, yaitu: 1) penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan, bisnis); 2) pelerai
(pemisah, pendamai) antara yang berselisih; dan 3) pemimpin di pertandingan (Saifuddin
2019).
b. Beragama
Beragama adalah memeluk atau menganut suatu agama sedangkan agama itu sendiri
mengandung arti, sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban–kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu (KBBI 2020) . Agama di dunia
ini bukanlah satu akan tetapi banyak. Di Indonesia agama yang diakui oleh negara adalah
Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu.
Secara Bahasa Beragama berarti menganut (memeluk) agama. Contoh : Saya
beragama Islam dan dia beragama Kristen. Beragama berarti beribadat; taat kepada agama;
baik hidupnya (menurut agama). Contoh : Ia datang dari keluarga yang beragama. Beragama
berarti sangat memuja–muja; gemar sekali pada; mementingkan (Kata percakapan). Contoh:
Mereka beragama pada harta benda. Secara Istilah Beragama itu menebar damai, menebar
kasih sayang, kapan pun dimanapun dan kepada siapapun. Beragama itu bukan untuk
menyeragamkan keberagaman, tetapi untuk menyikapi keberagaman dengan penuh kearifan.
Agama hadir ditengah–tengah kita agar harkat, derajat dan martabat kemanusiaan kita
senantiasa terjamin dan terlindungi. Oleh karenanya jangan gunakan agama sebagai alat
untuk menegasi dan saling merendahkan dan meniadakan satu dengan yang lain. Oleh
karenanya, mari senantiasa menebarkan kedamaian dengan siapapun, dimanapun dan kapan
pun. Beragama itu Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu
cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak
sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat
bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem,
melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah. menjaga, menjaga hati, menjaga perilaku diri,
menjaga seisi negeri dan menjaga jagat raya ini.
Jadi Moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat,
yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan
maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga
retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini. Kalau dianalogikan, moderasi adalah ibarat gerak dari pinggir yang selalu
cenderung menuju pusat atau sumbu (centripetal), sedangkan ekstremisme adalah gerak
sebaliknya menjauhi pusat atau sumbu, menuju sisi terluar dan ekstrem (centrifugal). Ibarat
bandul jam, ada gerak yang dinamis, tidak berhenti di satu sisi luar secara ekstrem,
melainkan bergerak menuju ke tengah-tengah.
Meminjam analogi ini, dalam konteks beragama, sikap moderat dengan demikian
adalah pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap, dan perilaku di tengah-tengah di antara
pilihan ekstrem yang ada, sedangkan ekstremisme beragama sebagai cara pandang, sikap
dan perilaku melebihi batas–batas moderasi dalam pemahaman dan praktik beragama.
Karenanya, moderasi beragama kemudian dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan
perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem
dalam beragama. Tentu perlu ada ukuran, batasan, dan indikator untuk menentukan apakah
sebuah cara pandang, sikap, dan perilaku beragama tertentu itu tergolong moderat atau
ekstrem. Moderasi beragama sesungguhnya merupakan kunci terciptanya toleransi dan
kerukunan, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global. Pilihan pada moderasi dengan
menolak ekstremisme dan liberalisme dalam beragama adalah kunci keseimbangan, demi
terpeliharanya peradaban dan terciptanya perdamaian. Dengan cara inilah masing–masing
umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima perbedaan,
serta hidup bersama dalam damai dan harmoni. Dalam masyarakat multikultural seperti
Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan pilihan, melainkan keharusan (Saifuddin
2019).
2. Ayat –Ayat AL Qur’an dan Hadist tentang Moderasi Beragama
a. Moderasi Beragama dalam Al–Qur’an
Al–Qur’an dan Hadis telah disepakati oleh para pemuka Islam bahwa keduanya
merupakan sumber dan referensi utama dalam merujuk semua masalah yang dihadapi dalam
semua lini kehidupan. Hal ini dilakukan mulai semenjak generasi masa Rasulullah hingga
sampai kapan saja selama umat Islam masih hidup di kolong permukaan bumi ini. Begitu
pula halnya dengan masalah moderasi beragama yang baru–baru ini cukup berdengung dan
bergema diperbincangkan di berbagai media , baik media cetak maupun elektronik. Kata dan
istilah moderasi beragama bukanlah berasal dari bahasa Arab yang merupakan bahasa Al–
Quran dan Hadis akan tetapi kata asing yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia.
Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah kata moderasi beragama terdapat di dalam Al–
Quran dan hadis yang keduanya merupakan sumber pegangan utama umat Islam di dunia?.
Jawabannya adalah Al–Quran dan Hadis bukan kamus istilah akan tetapi pedoman hidup
bagi umat manusia. Yang disaji oleh Al–Quran dan hadis adalah bukan lafadhnya akan tetapi
substansi dan maknanya yang harus dicari, dan digali oleh pemeluknya kemudian
dikembangkan untuk kepentingan hidup manusia sesuai menurut tempat dan waktu, di
sinilah letaknya kedinamisan ajaran Islam.
Padanan kata yang bermakna moderasi beragama dalam Al–Quran dan Hadis telah
disejajarkan oleh pakar Islam dengan kata wasathan. Kata ini kemudian diperluas dengan
berbagai makna, term dan istilah yang dibawah ini uraiannya diketengahkan sebagai berikut:
Moderasi beragama bermakna umat pilihan .
ُ
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
1) Moderasi beragama dalam keseimbangan fenomena alam .
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ
Artinya: Kamu sekali kali tidak akan melihat pada ciptaan Allah yang Maha
Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. (Al– Mulk: 3)
وَهُوَ الَّذِيْ مَدَّ الْاَرْضَ وَجَعَلَ فِيْهَا رَوَاسِيَ وَاَنْهٰرًا ۗوَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ جَعَلَ فِيْهَا زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
Artinya: Dan Dia lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung–
gunung dan sungai–sungai padanya. Dan menjadikan padanya dengan buah–buahan
berpasang pasangan. Allah menutup malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda–tanda kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkannya.
(Ar– Ra’du: 3)
2) Moderasi beragama bermakna adil
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik–baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat.
3) Moderasi beragama yang bermakna seimbang pola hidup
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang yang berbuat kerusakan.
(Al–Qashash: 77)
4) Moderasi beragama dalam bersikap
Artinya: dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk–buruk suara ialah suara keledai. (Luqman: 19)
5) Moderasi beragama dalam bermoral
Artinya: (7)dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), (8) Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (9)
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (Asy–Syams: 7–9)
6) Moderasi beragama dalam berbangsa dan bernegara.
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku–
suku supaya kamu saling kenal–mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al–Hujurat: 13)
3. Moderasi Beragama Dalam Hadist
a. HR. Bukhari
Dari Abû Hurayrah ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Amal seseorang tidak
akan pernah menyelamatkannya”. Mereka bertanya: “Engkau juga, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Begitu juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat–Nya. Maka
perbaikilah (niatmu), tetapi jangan berlebihan (dalam beramal sehingga menimbulkan
bosan), bersegeralah di pagi dan siang hari. Bantulah itu dengan akhir–akhir waktu malam.
Berjalanlah pertengahan, berjalanlah pertengahan agar kalian mencapai tujuan.”1
b. HR. Ahmad, Baihaqqi dan Al–Hakim
Dari Buraydah al–Aslamî berkata: “pada suatu hari, aku keluar untuk suatu
keperluan. Tiba–tiba Nabi saw. berjalan di depanku. Kemudian beliau menarikku, dan kami
pun berjalan bersama. Ketika itu, kami menemukan seorang lelaki yang sedang shalat, dan
ia banyakkan ruku’ dan sujudnya. Nabi bersabda: “Apakah kamu melihatnya sebagai orang
yang riya’?” Maka aku katakan: “Allah dan Rasul–Nya yang lebih mengetahui”. Beliau
melepaskan tanganku dari tangannya, kemudian beliau menggenggam tangannya dan
meluruskannya serta mengangkat keduanya seraya berkata: “Hendaklah kamu mengikuti
petunjuk dengan pertengahan (beliau mengulanginya tiga kali) karena sesungguhnya siapa
yang berlebihan dalam agama akan dikalahkannya.” 2