13 Hal Wajib Anda Tahu Tentang Ibadah Qurban Oleh Satrio,M.A Dosen STAIN SAR Kepri

1.634 Lihat

TANJUNGPINANG KEPULAUAN RIAU :

Oleh Satrio

Dosen Bahasa Arab STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

Mahasiswa S3 UIN STS Jambi

Sumber :

1.Prof.Dr.Wahbah Az Zuhaili

2.Maushuah Kitab Al Fiqh Al Islam Jilid 3

3.An Nawawi Kitab Al Majmuk Jilid 8

4.Ibnu Rusyd Kitab Bidayatul Mujtahid Jilid 2

5.As Syarbini Kitab Mughni Al Muhtaj Jilid 4

6.As Sarakhsi Kitab Al Mabsuth Jilid 11

 

1: Hukum Berqurban dan Fadhilahnya

  1. Sunnah Muakkadah

Mayoritas ulama fiqih menilai bahwa pada dasarnya hukum berqurban adalah sunnah muakkadah, kecuali jika dinadzarkan maka hukumnya jadi wajib, kesunnahan berqurban ini sebagaimana firman Allah swt:

فَصَل لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)

Perintah untuk berqurban ini tidak dinilai wajib karena ayat ini diikat dengan hadits Rasulullah saw berikut ini:

«إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا»

“Jika sudah masuk sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) dari rambutnya dan kulitnya” (HR. Muslim )

Oleh Rasulullah saw lewat hadits diatas perihal berqurban itu diserahkan kemauannya kepada

masing-masing individu, itu artinya perintah berqurban itu hukumnya tidak wajib, karena kalau wajib maka mau atau tidak mau tetap harus dikerjakan.

  1. Sunnah Ain dan Kifayah

Imam An-Nawawi menuliskan:

الشَّاةُ الْوَاحِدَةُ لَا يُضَحَّى بِهَا إِلَّا عَنْ وَاحِدٍ، لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ، تَأَدَّى الشِّعَارُ وَالسُّنَّةُ لِجَمِيعِهِمْ… وَكَمَا أَنَّ الْفَرْضَ يَنْقَسِمُ إِلَى فَرْضِ عَيْنٍ، وَفَرْضِ كِفَايَةٍ، فَقَدْ ذَكَرُوا أَنَّ التَّضْحِيَةَ كَذَلِكَ، وَأَنَّ التَّضْحِيَةَ مَسْنُونَةٌ لِكُلِّ أَهْلِ بَيْتٍ.

“Seekor kambing bisa disembelih hanya untuk qurban satu orang. Kalau salah seorang dari seisi rumah telah berkurban, maka sudah nyatalah syiar Islam dan sunah bagi seisi rumah itu… Sebagaimana fardu itu terbagi pada fardu ‘ain dan fardu kifayah, para ulama juga menyebut hukum sunah kurban juga demikian. Ibadah kurban disunahkan (kifayah) bagi setiap rumah”1

Sunnah ‘ain maksudnya adalah kesunnahan untuk masing-masing individu, dimana setiap orang Islam sunnah ‘ain bagi mereka semua untuk berqurban, mininal sekali seumur hidup. Sedangkan sunnah kifayah maksudnya adalah kesunnahan untuk satu keluarga, dimana sebaiknya dalam satu keluarga besar yang terdiri dari suami, istri dan anak ada satu yang berqurban setiap tahunnya.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِ أَهْلِ بَيْتٍ فيِ كُلِّ عَامٍ أُضْحِيَّةِ

“Wahai manusia, hendaklah atas tiap-tiap keluarga menyembelih udhiyah tiap tahun. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan At-Tirmizi)

Juga keterangan dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshary ra. tentang bagaimana bentuk ibadah qurban yang pernah terjadi dimasa Rasulullah saw bahwa:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Seseorang berqurban seekor kambing untuknya dan untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberikannya kepada masyarakat lainnya”

Untuknya sebagai sunnah ‘ain, dan untuk keluarganya sebagai sunnah kifayah.

  1. Wajib

Didalam madzhab Hanafi hukum berqurban adalah wajib bagi yang mampu, dan standar mampu dalam madzhab ini, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili adalah saat seseorang memilik harta yang sudah sampai nishab zakat2.

Sehingga berlaku untuknya sabda Rasulullah saw:

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا

”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak

menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

  1. Fadhilah

Diantara fadhilah atau keutamaan besar dalam berqurban sebagaimana sabda Rasulullah saw berikut ini:

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Tidaklah seorang anak Adam melakukan pekerjaan yang paling dicintai Allah pada hari nahr kecuali menyembelih hewan qurban, hewan itu nanti pada hari kiamat akan datang dengan tanduk, rambut dan bulunya, dan darah itu di sisi Allah swt segera menetes pada suatu tempat sebelum menetes ke tanah. (HR. Tirmizi dan Ibnu Majah).

2: Hewan yang Diqurbankan

Diantara ketentuan ritual yang harus dipenuhi bahwa hewan yang akan diqurbankan haruslah temasuk hewan yang disebut dengan Al-An’am, yaitu onta, sapi/kerbau, dan kambing. Dari sini bukanlah dinamakan ibadah qurban jika hewan yang disembelih adalah ayam, bebek, angsa, atau kelinci, karena hewan-hewan tersebut tidak termasuk katagori Al-An’am yang disebut didalam Al-Quran:

وَلِكُل أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأْنْعَامِ

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap Al-An’am (binatang ternak) yang telah direzekikan Allah kepada mereka” (QS. Al-Hajj : 34)

Berikutnya adalah hewan tersebut juga harus masuk dalam katagori musinnah. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

عن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا تذبحوا إلا مسنة، إلا أن يعسر عليكم فتذبحوا جذعة من الضأن

Dari Jabar ra berkata: Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian menyembelih (hewan qurban) kecuali musinnah, kecuali jika sulit bagi kalian maka kalian boleh

menyembelih kambing jaz’ah” (HR. Muslim)

Para ulama menjelaskan bahwa katagori musinnah untuk onta adalah onta yang berumur lima tahun masuk tahun ke enam, sedangkan musinnah untuk sapi adalah sapi yang berumur dua tahun masuk tahun ke tiga, sedang musinnah untuk kambing adalah yang berumur satu tahun, sedangkan kambing jaz’ah adalah kambing yang berumur enam bulan3.

3 : Satu Kambing Untuk Satu Keluarga

Sekali waktu Atha’ bin Yasar bertanya kepada sahabat Abu Ayyub Al-Anshary ra, seperti dalam riwayat Imam Tirmidz, jilid 4, hal. 91, tentang bagaimana bentuk ibadah qurban yang pernah terjadi dimasa Rasulullah saw, lalu dijawab:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Seseorang berqurban seekor kambing untuknya dan untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberikannya kepada masyarakat lainnya”

Lebih lanjut, Imam Tirmidzi melanjutkan, masih didalam halaman yang sama:

وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ العِلْمِ، وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ، وَإِسْحَاقَ

“Sebagian dari ulama mengamalkan hadits ini, ini adalah perkataan Ahmad dan Ishaq”.

Dalilnya adalah perilaku Rasulullah saw dalam hadits yang lainnya bahwa saat menyembelih hewan qurban (kambing) beliau menyebutkan:

«هَذَا عَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي»

“Ini adalah qurbanku dan qurban bagi siapa saja dari ummatku yang belum berqurban”

Imam Tirmidzi seterusnya melanjutkan:

وَقَالَ بَعْضُ أَهْلِ العِلْمِ: لَا تُجْزِي الشَّاةُ إِلَّا عَنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ، وَهُوَ قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ المُبَارَكِ، وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ

“Sebagian ulama lainnya berkata: satu kambing hanya untuk satu orang, ini adalah pendapat Abdullah bin Mubarak dan lainnya dari para ulama”

Jadi perilaku berqurban satu kambing satu keluarga tersebut mempunya tafsir lebih daris satu, ada yang megamalkannya sesuai dengan zhahirnya, ada juga yang memahaminya dengan pemahaman yang lain.

  1. Madzhab Abu Hanafi

Imam Al-Kasani dengan tegas menyebutkan dalam madzhab Hanafi bahwa:

فَلَا يَجُوزُ الشَّاةُ وَالْمَعْزُ إلَّا عَنْ وَاحِدٍ وَإِنْ كَانَتْ عَظِيمَةً سَمِينَةً تُسَاوِي شَاتَيْنِ

“satu ekor kambing hanya bisa untuk satu orang, walaupun kambingnya besar setara dengan berat dua ekor kambing”4

Lalu, lanjut Imam Al-Kasani, jika ada yang mengatakan bukankah Rasululllah saw diriwayatkan pernah memotong dua ekor kambing yang salah satunya beliau sembelih atas nama beliau dan keluarganya, dan kambing yang satunya beliau sembelih atas nama beliau dan ummatnya? Maka

jawabannya adalah:

أَنَّهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – إنَّمَا فَعَلَ ذَلِكَ لِأَجْلِ الثَّوَابِ؛ وَهُوَ أَنَّهُ جَعَلَ ثَوَابَ تَضْحِيَتِهِ بِشَاةٍ وَاحِدَةٍ لِأُمَّتِهِ لَا لِلْإِجْزَاءِ وَسُقُوطِ التَّعَبُّدِ عَنْهُمْ

“Bahwa Rasulullah saw melakukan itu atas dasar membagi pahala, bahwa pahala qurban satu kambing beliau itu diniatkan untuk dibagi kepada ummatnya, bukan atas niat gugurnya kesunnahan ibadah qurban bagi masing –masing mereka”

  1. Madzhab Maliki

Imam Ibnu Abdil Bar, mewakili salah satu ulama dalam madzhab Maliki menyatakan:

ولا بأس أن يضحي الرجل عنه وعن أهل بيته بالشاة الواحدة

“Tidak mengapa (boleh) seseorang menyembelih satu ekor kambing yang diniatkan untuk keluarganya”5

  1. Madzhab Syafii

Dalam madzhab Syafii penjelasannya lebih rinci satu kambing untuk satu keluarga itu masuk dalam katagori sunnah kifayah, dimana jika dalam satu keuarga ada seseorang yang berqurban satu ekor kambing maka gugurlah sunnah kifayah untuk keluarga tersebut, namun kesunnahan masing-masing individu belum gugur.

Sehingga, hadits nabi yang menjelaskan bahwa beliau pernah memotong dua ekor kambing yang salah satunya beliau sembelih atas nama beliau dan

keluarganya, dan kambing yang satunya beliau sembelih atas nama beliau dan ummatnya itu ditakwil kedalam dua hal, demikian Imam An-Nawawi menuliskan dalam kitab Al-Majmu:

إذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتٍ تَأَتَّى الشِّعَارُ وَالسُّنَّةُ لِجَمِيعِهِمْ

“Jika salah satu anggota keluarga berqurban dengan satu kambing maka “syia’ar” qurban itu juga mengenai masing-masing anggota lainnya”6

وَقَدْ حَمَلَ جَمَاعَةٌ الْحَدِيثَ المذكور على الاشتراك فِي الثَّوَابِ

“Ada juga yang membawa makna hadits tsersebut untuk kebersamaan dalam mendapatkan pahala dari hewan yang diqurbankan”7

Inilah takwil dari hadits Rasulullah saw yang menjelaskan bahwa sekali waktu beliau berqurban dengan dua ekor kambing, dan berkata:

اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ

“Ya Allah, terimalah qurban dari Muhammad dan dari keluarga Muhammad” (HR. Muslim)

  1. Madzhab Hanbali

Dalam madzhab ini hampir sama dengan madzhab Maliki, Imam Ibnu Qudamah menuliskan:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَذْبَحَ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ شَاةً وَاحِدَةً، أَوْ بَقَرَةً أَوْ بَدَنَةً. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَإِسْحَاقُ.

“tidak mengapa (boleh) bagi seseorang untuk meyembelih satu ekor kambing/sapi/onta untuk dia dan keluarganya, demikian pendapat Imam Ahmad, Imam Malik, Al-Laits, Al-Auza’i, dan Ishaq8.

Akhirnya, memang dalam madzhab yang empat secara tersirat maupun tersurat membolehkan satu ekor kambing untuk disembelih atas nama seseorang dan sekaligus atas nama keluarganya, namun setidaknya dalam pandangan madzhab Hanafi dan Madzhab Syafii yang demikian dimaksudkan untuk membagi pahala kepada mereka bukan untuk menggugurkan kesunnhakan bagi masing-masing mereka untuk berqurban sendiri-sendiri.

Jika ada tujuh anggota keluarga, masing-masing mengeluarkan uang untuk membeli satu ekor sapi atau kerbau lalu disembelih atas nama tujuh orang itu, maka perilaku yang ini tidaklah bertengangan dengan sunnah, bahkan ketujuh orang tersebut insya Allah akan mendapatkan pahala ibadah qurban dengan penuh.

4 : Sapi Untuk Tujuh Orang

Benar bahwa satu ekor sapi bisa disembelih untuk tujuh orang, ini didasarkan kepada hadits Rasulullah saw:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ»

Dari Jabir ra berkata: “Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah, onta untuk tujuh orang dan sapi juga untuk tujuh orang” (HR. Muslim)

  1. Madzhab Hanafi

Imam As-Sarakhsi dari madzhab Hanafi menuliskan:

وَلَا بَأْسَ أَنْ يَشْتَرِكَ سَبْعَةُ نَفَرٍ فِي بَقَرَةٍ، أَوْ بَدَنَةٍ

“Tidak mengapa tujuh orang berserikat untuk sapi atau onta”9

  1. Madzhab Maliki

Ibnu Rusyd dari madzhab Maliki menuliskan:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يَشْتَرِكَ فِي النُّسُكِ أَكْثَرُ مِنْ سَبْعَةٍ

“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh bersyerikat dalam ibadah qurban lebih dari tujuh orang”10

  1. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam As-Syarbini dari madzhab As-Syafi’i:

والبعير والبقرة يجزئ كل منهما عن سبعة

“Onta dan sapi boleh (sah) unt

  1. Madzhab Hanbali

Imam Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan:

يجوز اشتراك السبعة يضحوا ببدنة أو بقرة، ويجوز لهم اقتسام اللحم

“Boleh bagi tujuh orang untuk bersama menyembelih onta atau sapi, dan boleh juga mereka berbagi dagingnya”12

Hadits diatas difahami oleh semua madzhab fiqih (utamanya madzhab yang empat) bahwa maksimal untuk sapi hanya bisa disembelih untuk tujuh orang yang berserikat.

5 : Qurban Patungan Anak Sekolah

Setelah kita membahas perihal kambing dan sapi pada bagian sebelum ini dapatlah disimpulkan

bahwa:

Pertama: Satu kambing hanya bisa diqurbankan untuk satu orang dan satu kambing boleh disembelih atas nama satu orang beserta keluarganya.

Dalilnya keterangan dari sahabat Abu Ayyub Al-Anshary ra. tentang bagaimana bentuk ibadah qurban yang pernah terjadi dimasa Rasulullah saw bahwa:

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

“Seseorang berqurban seekor kambing untuknya dan untuk keluarganya, mereka memakannya dan memberikannya kepada masyarakat lainnya”

Juga takwil dari hadits Rasulullah saw:

.….. وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“… lalu beliau menyembelihnya, kemudian beliau mengucapkan: Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammad wa ali Muhammad wamin ummati Muhammad (‘Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.’) Beliau berkurban dengannya.” (HR. Muslim)

Kedua: Satu sapi hanya boleh diurun dan disembelih maksimal untuk tujuh orang. Dalilnya adalah hadits Rasulullah saw:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ، وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ»

Dari Jabir ra berkata: “Kami menyembelih hewan qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyah, onta untuk tujuh orang dan sapi juga untuk tujuh orang” (HR. Muslim)

Maka urunan hewan yang dibeli oleh anak sekolah yang umumnya berjumlah ratusan anak atau bahkan ribuan anak, maka dalam hal ini aktivitas penyembelihan yang dilakukan belum bisa dikatagorikan sebagai sembelihan qurban, ini masuk dalam katagori sembelihan dan sedekah biasa yang juga bernilai pahala disisi Allah swt.

Sebagai sebuah pembelajaran bagi peserta didik tetntunya hal ini baik untuk dilakukan, dan insya Allah tetap bernilai pahala disisi Allah swt.

6 : Belum Aqiqah Ingin Berqurban

Seperti yang sudah masyhur bagi kita semua bahwa hukum aqiqah itu adalah sunnah menurut mayoritas ulama, dan kesunnahannya itu bagi orang tua anak (bayi), lalu kesunnahan itu lebih utama untuk dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran, ada pun setelah hari ketujuh apakah sudah habis

waktunya atau masih tetap berlaku dalam ini para ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat sudah habis waktunya, ada juga yang berpendapat waktunya terus ada hingga anaknya baligh (dewasa).

Adapun setelah dewasa maka kesunnahan bagi orang tua sudah habis, namun ada pendapat yang membolehkan bagi anak yang sudah dewasa ini untuk mengaqiqahi dirinya sendiri.

Jika ada seseorang yang sudah dewasa dan dia ingin berqurban tapi dulunya dia ternyata belum diaqiqahi oleh orang tua, lalu bagaimana sebaiknya.

Terus terang perkara ini menjadi perdebatan panjang diatara para ulama, namun ringkasnya bahwa:

ú Jika memang ada kecupukan harta maka belilah 2 ekor kambing, satu diniatkan untuk aqiqah dan satu diniatkan untuk berqurban.

ú Atau beli satu ekor diniatkan untuk qurban dulu atau untuk aqiqah dulu barulah tahun berikutnya jika ada kelapangan beli satu ekor lagi.

ú Atau beli satu ekor kambing diniatkan untuk aqiqah dan qurban sekaligus, karena ada ulama yang membolehkan untuk menggabungkan antara niat aqiqah dan berqurban dalam satu hewan.

Mengacu pada kitab Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:

قال ابن حجر لو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكف خلافا للعلامة الرملى حيث قال ولو نوى بالشاة

المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا

“Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang meginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup. Berbeda dengan al-‘Allamah Ar-Ramli yang mengatakan bahwa apabila seseorang berniat dengan satu kambing yang disembelih untuk kurban dan aqiqah, maka kedua-duanya dapat terealisasi.”

Juga Menurut Abdur Razzaq, dari Ma’mar dari Qatadah mengatakan:

” مَنْ لَمْ يَعُقّ عَنْهُ أَجْزَأْته أُضْحِيَّته ” وَعِنْد اِبْنِ أَبِي شَيْبَة عَنْ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ وَالْحَسَنِ ” يُجْزِئ عَنْ الْغُلَام الْأُضْحِيَّة مِنْ الْعَقِيقَة

“Barangsiapa yang belum diaqiqahi maka cukup baginya berkurban”. Menurut Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn Sirin dan al-Hasan mengatakan “Cukup bagi seorang anak kurban dari aqiqah”13

7 : Qurban Untuk Orang yang Sudah Meninggal

Prof. Dr.Wahbah Az-Zuhaili, didalam kitab Mausuah A-Fiqh Al-Islami, menuliskan setikdanya dalam perkara ini ada tiga pendapat para ulama14:

  1. Boleh

Ini adalah pedapat para ulama dalam madzhab Hanafi dan Hanbali, sembelihan itu disembeli layaknya sembelihan orang hidup, dan pahalanya akan sampai kepada mayyit, namun jika qurban ini dulunya adalah wasiat almarhum, maka menurut ulama Hanafiyah seluruh dagingnya disedekahkan dan tidak boleh dimakan oleh yang berqurban atas namanya.

Di dalam refrensi lainnya didapati bahwa ada sebagian ulama Syafi’iyyah yang juga membolehkan berqurban untuk almrhum/ah yang sudah meninggal.

)وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُو الْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُهُ وَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ

Berqurban untuk mayyit menurut Abu Hasan Al Ubbadi adalah boleh secara mutlak, sebab ini bagian dari sedekah dan sedekah untuk mayit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayit berdasarkan kesepakatan ulama15

  1. Tidak Boleh

Ini adalah pendapat lainnya dari sebgian ulama Syafiiyah, kecuali jika almarhum/ah berwasiat maka hukumnya boleh diqurbankan atas nama mayyit, dan semua dagingnya disedekahkan.

  1. Makruh

Berqurban untuk almarhum/ah yang sudah

meninggal makruh hukumnya jika sebelum mereka meninggal tidak ada pesan/wasiat. Ini adalah pedapat para ulama Malikiyah.

8 : Tidak Boleh Potong Rambut dan Kuku

Bagi mereka yang mempunyai niat berqurban, penting juga untuk memperhatikan beberapa sabda Rasulullah saw berikut ini, juga sabda-sabda beliau yang lain yang mempunyai kemiripan secara redaksi, diantaranya:

«إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ فَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ

وَبَشَرِهِ شَيْئًا»

“Jika sudah masuk sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka janganlah ia menyentuh (memotong) dari rambutnya dan kulitnya” (HR. Muslim )

«إذا دخل العشر وعنده أضحية يريد أن يضحي، فلا يأخذن شعرا، ولا يقلمن ظفرا»

“Jika sudah masuk sepuluh hari pada bulan Dzulhijjah dan salah satu diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka janganlah dia sekali-kali mengambil (memotong) rambutnya dan jangan pula dia sekali-kali memotong kukunya” (HR. Muslim )

«إذا رأيتم هلال ذي الحجة، وأراد أحدكم أن يضحي، فليمسك عن شعره وأظفاره»

“Jika kalian melihat hilal Dzulhijjah, dan diantara kalian ada yang ingin berqurban, maka hendaklah dia menahan (tidak memotong) sebagian rambutnya kukunya” (HR. Muslim)

Ketiga hadits diatas semuanya melewati jalur dari Ummu Salamah, dengan beberapa perbedaan kecil secara redaksional lafazh hadits. Mengomentari hadits-hadits diatas, Imam An-Nawawi, salah seorang ulama yang bermadzhab As-Syafii, juga sebagai penulis kitab yang menjelaskan hadits-hadits

dalam kitab Shahih Muslim memaparkan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal hukum memotong rambut dan kuku bagi siapa yang ingin berqurban16:

Imam Said bin Musayyib, Rabiah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian (kecil) ulama dari madzhab As-Syafii berpendapat bahwa haram hukumnya bagi dia yang ingin berqurban untuk memotong rambut dan kukunya, sehingga dia menyembelih hewan qurbannya.

Namun pendapat Imam As-Syafii dan para ulama syafiiyah yang lainnya bahwa memotong rambut dan kuku bagi dia yang ingin berqurban hukumnya hanya sebatas makruh tanzih bukan haram.

Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa hukumnya tidak makruh, boleh-boleh saja. Dan pendapat Imam Malik, sekali waktu ada riwayat yang menjelaskan bahwa hukumnya tidak makruh (boleh), lain waktu ada riwayat yang mengatakan bahwa hukumnya makruh, dan pada lain kesempatan ada juga riwayat yang menjelaskan bahwa hukumnya haram.

Lebih lanjut, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa dalil mereka yang berpendapat bahwa haram hukumnya memotong rambut dan kuku (bagi mereka yang ingin berqurban) adalah hadits-hadits diatas.

Sedangkan Imam As-Syafii dan yang lainnya bersandarkan pendapatnya kepada penjelasan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, berkata:

كُنْتُ أَفْتِلُ قَلَائِدَ هَدْيِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يقلده ويبعث به ولايحرم عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللَّهُ حَتَّى يَنْحَرَ هَدْيَهُ

“Dahulu, aku (Aisyah) memintal tali untuk kalung hewan qurban Rasulullah saw, lalu kemudian Rasulullah saw mengalungkannya dan mengutusnya (ketempat penyembelihan) dan tidak ada hal yang diharamkan oleh Rasulullah saw apa yang sudah dihalalkan oleh Allah swt hingga beliau (Rasulullah saw) menyembelih hewan qurbannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Gabungan dari hadits Ummu Salamah dan hadits Aisyah ini pada akhirnya membuahkan kesimpulan, khususnya bagi Imam As-Syafii dan para ulama lainnya yang berpendapat bahwa hukum tidak memotong memotong rambut dan kuku bagi mereka yang ingin berqurban adalah sunnah, dan meninggalkannya adalah makruh tanzih bukan haram.

Dan hikmah dari dianjurkannya untuk tidak memotong rambut dan kuku, baik rambut kepala, ketiak, kumis, bulu kemaluan, dan rambut/bulu anggota badan lainnya, tulis Imam An-Nawawi lebih lanjut adalah, agar supaya anggota badan tetap lengkap/sempurna untuk dibebaskan dari api neraka, namun ada juga yang berpendapat bahwa yang demikian dimaksudkan agar menyerupai orang yang sedang berihram (haji), dimana mereka juga dilarang untuk memotong rambut dan kuku selama dalam kondisi ihram (haji), walaupun penyamaan ini dinilai lemah.

Lebih jelas, Imam Al-Mawardi, juga salah satu ulama dari madzhab As-Syafii, dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, jilid 15, hal. 73-74, bahwa para ulama berbeda pendapat terkait hukum mengamalkan hadits larangan memotong rambut dan kuku bagi mereka yang ingin berqurban kedalam tiga pendapat:

  1. Sunnah

Ini adalah pendapat dalam madzhab As-Syafii, bahwa hadits-hadits diatas maknanya dipalingkan ke makna sunnah bukan wajib, untuk itu maka sunnah hukumnya bagi siapa yang ingin berqurban untuk tidak memotong rambut dan kukunya selama 10 hari pada bulan Dzulhijjah, kalaupun ada yang memotong rambut atau kukunya maka hukumnya makruh bukan harm.

  1. Wajib

Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih, bahwa hadits-hadits diatas maknanya adalah wajib, mengambil/memotong rambut dan kuku bagi siapa yang ingin berquran hukumnya harram, karena menyerupai mereka yang sedang berihram (haji).

  1. Mubah

Maksudnya adalah memotong rambut dan kuku bagi mereka yang ingin berqurban hukumnya bukan sunnah bukan juga makruh. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, alasannya adalah keadaan mereka itu tidak sama dengan mereka yang sedang dalam kondisi ihram. Sehingga, jangankan hanya sebatas memotong rambut dan

kuku, mereka yang tidak sedang dalam kondisi ihram itu halal baginya untuk berhubungan suami istri, apalagi hanya sebatas memotong rambut dan kuku.

9 : Waktu Penyembelihan

Terkiat waktu penyembelihan, kita bagi menjadi dua, yaitu waktu awal dan waktu akhir:

  1. Waktu Awal

Semua ulama sepakat bahwa waktu penyembelihan hewan qurban dimulai pada tanggal 10 Dzulhijjah saat dimana kita berhari raya Idul Adha. Walaupun dalam detailnya ada sedikit perbedaan diantara ulama, namun mayoritas ulama berpendapat bahwa waktu penyembelihan dimulai setelah shalat id dan tentunya setetalah mendengarkan khutbah id.

Sandarannya adalah hadits Rasulullah saw berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَانَبْدَأُ بِهِ يَوْمَنَا هَذاَ: أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرُ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا هُوَ

لَحْمٌ قَدَّمَهُ لأَِهْلِهِ لَيْسَ مِنَ النُّسُكِ فيِ شَيْءٍ

”Hal pertama yang kami lakukan di hari Idul Adha adalah shalat kemudian pulang dan menyembelih hewan. Siapa yang melakukannya seperti itu maka sudah sesusai dengan sunnah kami dan siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka ia hanyalah daging yang diberikan kepada keluarganya bukan termasuk ibadah ritual” (HR. Bukhari dan Muslim)

Juga sabda Rasulullah saw berikut ini:

مَنْ ضَحَّى قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَدْ تَمَّ نُسُكَهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ المُسْلِمِيْنَ

”Siapa yang menyembelih sebelum shalat ‘id maka dia menyembelih untuk dirinya sendi, dan siapa yang menyembelih setelah shalat dan dua khutbah, maka dia telah menyempurnakan sembelihannya dan sesuai dengan sunnah muslimin” (HR. Bukhari dan Muslim).

  1. Batas Akhir

Perihal kapan batas akhir penyembelihan hewan ini umumnya para ulama berpendapat bahwa waktu terakhir penyembelihan hewan qurban ini sebelum terbenamnya matahari pada tanggal 13 Dzulhijjah. Jadi waktu menyembelih hewan qurban itu selama empat hari, hari pertama adalah pada saat setelah melaksanakan shalat idul Adha, dan tiga hari selanjutnya adalah selama hari tasyriq yaitu tanggal 11, 12 dan 13 dzulhijjah.

Sandarannya adalah hadits Rasulullah shallallahu

‘alaihi wasallam berikut ini:

كُل أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ

“Semua hari tasyriq (11, 12 dan 13 dzulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)

Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Zadu Al-Ma’ad menegaskan bahwa:

قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه : أيام النحر : يوم النحر ، وثلاثة أيام بعده ، وهو مذهب إمام أهل البصرة الحسن ، وإمام أهل مكة عطاء بن أبي رباح ، وإمام أهل الشام الأوزاعي ، وإمام فقهاء الحديث الشافعي رحمه الله ، واختاره ابن المنذر

“Sahabat Ali ra berkata bahwa waktu penyembelihan adalah pada hari nahr (10 dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya (yaitu tanggal 11, 12, 13). Ini adalah pendapat Imam ahli Bashrah; Al-Hasan, dan Imam ahli Makkah; Atha’ bin Abi Rabah, dan imam ahli Syam; Al-Auza’i, dan Imam ahli fikih; As-Syafi’i dan ini juga pendapatnya imam Ibnul Mundzir”

Lebih lanjut, dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad menceritakan bahwa:

عن بُرَيْدَةَ رضي الله عنه قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ ، وَلا يَأْكُلُ يَوْمَ الأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ ، فَيَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ

Dari Buraidah ra berata: “Rasululla shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya makan dulu pada hariIdul

Fitri baru pergi shalat, dan beliau biasanya tidak makan pada hari Idul Adha hingga pulang dari masjid, dan beliau memakan hewan sembelihannya (hewan qurbannya)” (HR. Ahmad)

Dari sini pada ulama menilai bahwa waktu paling utama untuk menyembelih hewan qurban adalah pada hari pertama, yaitu pada tangga 10 Dzulhijjah tepatnya setelah melaksanakan shalat Idul Adha, dan jika hewan yang disembelih banyak, maka tiga hari selanjutnya juga hari yang sah untuk menyembelih hewan qurban.

10 : Menyembelih Hewan

Berikut ini, ada beberapa hal yang disukai, khususnya oleh Imam As-Syafii dan oleh madzhab As-Syafii dalam kaitannya dengan penyembelihan hewan qurban, seperti yang ditulis oleh Imam Al-Mawardi (w. 450) dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir, ketika beliau menjelaskan kitab Mukhtasor Al-Muzani, karya Imam Al-Muzani (w. 264 H), sebagai ringkasan dari kitab Al-Umm karya Imam As-Syafii (w. 204)17:

  1. Muslim

قال الشافعي: قَالَ وَأُحِبُّ أَنْ لَا يَذْبَحَ الْمَنَاسِكَ الَّتِي يُتَقَرَّبُ بِهَا إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا مسلمٌ

Saya (Imam As-Syafii) menyukai agar hewan qurban tidak disembelih kecuali oleh orang Islam (Al-Hawi: 15/91)

  1. Sembelihan Perempuan

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ ” وَذَبْحُ مَنْ أَطَاقَ الذَّبْحَ مِنَ امرأةٍ حائضٍ وصبيٍّ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ ذَبْحِ النَّصْرَانِيِّ

وَالْيَهُودِيِّ “.

Sembelihan perempuan muslim yang sedang haid dan anak-anak muslim, jika memang mereka mampu untuk menyembelih, lebih saya (Imam As-Syafii) sukai dari pada sembelihan orang-orang Nasrani dan Yahudi. (Al-Hawi: 15/92)

  1. Sembelihan Orang Bisu

قال الشافعي: ” وَلَا بَأْسَ بِذَبِيحَةِ الْأَخْرَسِ “.

Tidak mengapa sembelihan orang yang bisu (Al-Hawi: 15/93)

  1. Menghadap Kiblat

قَالَ الشافعي: ” وَأُحِبُّ أَنْ يُوَجِّهَ الذَّبِيحَةَ إِلَى الْقِبْلَةِ “.

Saya (Imam As-Syafii) menyukai agar sembelihan dilakukan dengan menghadapkannya ke arah kiblat (Al-Hawi: 15/94)

  1. Mengucap Basmalah

قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: ” وَيَقُولَ الرَّجُلُ عَلَى ذَبِيحَتِهِ بِاسْمِ اللَّهِ “.

Hendaklah hewan disembelih dengan menyebut nama Allah (Al-Hawi: 15/95)

Lebih lanjut berikut ini beberapa riwayat yang menyebutkan beberapa dzikir dan doa pada waktu menyembelih hewan qurban:

Dari Anas ra berkata:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا

بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

“Nabi Muhammad saw berkurban dengan dua ekor kambing kibas yang bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, mengucapkan bismillah dan bertakbir serta meletakkan kakinya pada samping leher.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Aisyah ra:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ فَقَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ

“Bahwa Rasulullah saw pernah menyuruh untuk diambilkan dua ekor domba bertanduk yang kakinya berwarna hitam, perutnya terdapat belang hitam, dan di kedua matanya terdapat belang hitam. Kemudian domba tersebut diserahkan kepada beliau untuk dikurbankan, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, ‘Wahai Aisyah, bawalah pisau kemari.’ Kemudian beliau bersabda: ‘Asahlah pisau ini dengan batu.’ Lantas ‘Aisyah melakukan apa yang beliau perintahkan. Setelah diasah, beliau mengambilnya dan mengambil domba tersebut dan membaringkannya, lalu beliau menyembelihnya. Kemudian beliau mengucapkan:

Bismillahi Allahumma taqabbal min Muhammad wa ali Muhammad wamin ummati Muhammad (‘Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan ummat Muhammad.’) Beliau berkurban dengannya.” (HR. Muslim)

Hadits dari Jabir ra berkata,

شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي

“Aku ikut bersama Rasulullah saw pada hari Idul Adha di Mushalla (lapangan tempat shalat). Setelah selesai khutbah, Rasulullah saw turun dari mimbar, lalu dibawakan kepadanya seekor kambing kibas, lalu Rasulullah menyembelihnya dengan kedua tangannya seraya berkata: Bismillahi wallahu akbar hadza ‘anni wa ‘amman lam yudhahhi min ummati (‘Dengan menyebut nama Allah, Allahu akbar, ini adalah qurbanku dan qurban siapa saja dari umatku yang belum berkurban)’” (HR. At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain terdapat tambahan lafal:

اَللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ

“Allahumma inna hadza minka walaka (Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu)”

Kesimpulannnya:

Jika hewan qurban disembelih sendiri maka dianjurkan untuk membaca:

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ

Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma inna hadza minka wa laka (Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, sesungguhnya (sembelihan) ini dari-Mu dan untuk-Mu)

Atau boleh juga dengan lafal ini,

بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا عَنِّي وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِي

Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma hadza ‘Anni wa ‘an Ahli Baiti (Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah, ini dari hamba dan dari keluarga hamba)

Dan jika menyembelihkan hewan qurban milik orang lain baik untuk satu orang maupun untuk tujuh orang maka dianjurkan untuk membaca:

سْمِ اللهِ، وِاللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ هَذَا عَنْ .

Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma hadza ‘an……. (sebutkan nama pemiliknya) “Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari… (sebutkan nama pemiliknya)”

Atau dengan lafal ini,

بِسْمِ اللهِ، وِاللهُ أَكْبَرُ، اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلاَنٍ وَآلِ فُلَانٍ

Bismillahi wallahu Akbar, Allahumma taqabbal min……. (sebutkan nama pemiliknya) wa aali…….. (sebutkan nama pemiliknya) “Dengan menyebut nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah terimalah

(Kurban ini) dari fulan (sebutkan nama pemiliknya) dan keluarga fulan (sebutkan nama miliknya).”

  1. Urat yang Dipotong

قال الشافعي: ” (قال) وَالذَّكَاةُ فِي الْحَلْقِ وَاللَّبَّةِ وَهِيَ مَا لَا حَيَاةَ بَعْدَهُ إِذَا قُطِعَ وَكَمَالُهَا بأربعٍ الْحُلْقُومِ وَالْمَرِيءِ وَالْوَدَجَيْنِ

Penyembelihan dilakukan di leher atau pangkal leher, dimana sudah tidak ada lagi nyawa ketika ia sudah dipotong, dan untuk lebih sempurna maka sembelihan harus memotong empat hal: al-hulqum (saluran pernafasan), al-marri’ (saluran makan dan minum), al-wadajain yaitu dua saluran pembuluh darah. (Al-Hawi: 15/97)

Selain dari beberapa hal diatas, Imam Al-Mawardi menambahan bahwa ada tujuh hal yang yang disukai untuk dilakukan ketika hari penyembelihan18:

  1. Lemah Lembut Terhadap Hewan

أَنْ تُسَاقَ إِلَى مَذْبَحِهَا سَوْقًا رَفِيقًا وَتُضْجَعَ لِذَبْحِهَا اضْجَاعًا قَرِيبًا وَلَا يُعَنَّفُ بِهَا فِي سَوْقٍ وَلَا اضْجَاعٍ فَيَكْرَهُهَا وَيُنَفِّرُهَا.

Hendaknya hewan qurban dibawah ketempat penyembelihan dengan baik, tidak kasar, dan menggulingkannya pun hendaknya dilakukan dengan baik pula, tidak kasar.

  1. Memberi Hewan Minum

أَنْ يَعْرِضَ عَلَيْهَا الْمَاءَ قَبْلَ ذَبْحِهَا خَوْفًا مِنْ عَطَشِهَا الْمُعِينِ عَلَى تَلَفِهَا؛ وَلِيَكُونَ ذَلِكَ أَسْهَلَ عِنْدَ سَلْخِهَا وَتَقْطِيعِهَا، وَلَا يَعْرِضُ عَلَيْهَا الْعَلَفَ لِأَنَّهَا لَا تَسْتَسْمِنُ بِهِ إِلَى حِينِ الذَّبْحِ،

فَيَكْثُرُ بِهِ الْفَرْثُ إِلَّا أَنْ يَتَأَخَّرَ زَمَانُ الذَّبْحِ فَيَعْرِضُ عَلَيْهَا كَالْمَاءِ.

Sebelum dilakukan penyembelihan hendaknya hewan qurban tersebut diberikan air untuk dia minum, khawatir kehausan sehingga bisa membuat dia mati sebelum disembelih, dan yang demikian juga bisa membantu mempermudah proses mengulitinya, dan jangan diberikan makan, karena hanya akan menambah kotorannya saja, kecuali jika waktu penyembelihan diundur, maka baik juga diberikan makanan.

  1. Menajamkan Pisau Jauh Dari Hewan

أَنْ يُخْفِيَ عَنْهَا إِحْدَادَ الشِّفَارِ فِي وُجُوهِهَا فَرُبَّمَا نَفَّرَهَا وَقَدْ وَرَدَ الْخَبَرُ بِأَنْ لَا تُحَدَّ الشِّفَارُ فِي وُجُوهِهَا.

Hendaknya tidak mengasah pisau/pedang dihadapan hewan qurban, karena khawatir bisa membuatnya berlari (takut), karena ada riwayat yang menyebutkan bahwa dilarang mengasah pisau/pedang diadapan hewan sembelihan.

  1. Tidak Menyembelih Dihadapan Hewan Lain

أَنْ لَا يَنْحَرَ بَعْضَهَا فِي وُجُوهِ بَعْضٍ فَقَدْ جاء فيه الأثر؛ ولأنه رما نفرها ذلك.

Hendaknya tidak menyembelih hewan qurban persis dihadapan hewan qurban lainnya, karena khawatir bisa membuatnya berlari (takut).

  1. Tidak Mengikat Semua Bagian

أن يعقل بعض قوائمهما وَيُرْسِلَ بَعْضَهَا وَلَا يَعْقِلَ جَمِيعَهَا فَتُرْهَقَ، وَلَا يُرْسِلَ جَمِيعَهَا فَتَنْفِرَ.

Ketika penyembelihan, hendaknya mengikat sebagian anggota badannya saja dan melepaskan sebagian yang lainnya. Tidak mengikat semua bagian dari aggota badannya khawatir ia mati karena tercekik, dan tidak pula melepas semuanya khawatir hewan tersebut lari/kabur.

  1. Menyembelih Onta Dengan Berdiri

أَنْ يَنْحَرَ الْإِبِلَ قِيَامًا لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا} (الحج: 36) أَيْ سَقَطَتْ وَتُذْبَحُ الْبَقَرُ وَالْغَنَمُ مَضْجُوعَةً فَإِنْ خَافَ نُفُورَ الْإِبِلِ إِذَا نُحِرَتْ قِيَامًا نَحَرَهَا بَارِكَةً غَيْرَ مَضْجُوعَةٍ.

Hendaknya penyembelihan onta dilakukan dengan posisi onta berdiri, sedangkan sapi dan kambing dilakukan dengan posisi keduanya dibaringkan/digulingkan.

  1. Menyembelih Dengan Cepat

أَنْ يَكُونَ الذَّبْحُ بِأَمْضَى شِفَارٍ وَجَدَهَا وَيُمِرُّهَا ذَهَابًا وَعَوْدَةً فِي قُوَّةِ اعْتِمَادٍ وَسُرْعَةِ تَوْجِيَةٍ لِرِوَايَةِ ابْنِ الْأَشْعَثِ عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ قَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – ” إن الله كتب عَلَى كُلِّ شيءٍ فَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدَكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ “

Hendaknya penyembelihan dilakukan dengan menggorokkan pisau kedepan dan kebelakang dengan kuat dan cepat serta dengan pisau yang tajam. Sesuai denagn hadits riwayat Ibn Al-Asy’as dari Syaddad bin Aus, nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah swt sudah mewajibkan untuk segala sesuatu, jika kalian menyembelih maka perbaguslah dalam penyembelihan, dan tajamkanlah pisau kalian, serta tenangkanlah hewan sembelihannya.

11 : Peruntukan Daging

Perhatikan ayat berikut ini:

لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى

مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ

“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir” (QS. Al-Hajj: 28)

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al-Hajj: 36)

Juga hadits Rasulullah saw berikut:

وَقَوْلِ النَّبِيِّ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ

لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا مِنْهَا وَادَّخِرُوا»

“Dahulu saya melarang kalian memakan daging hewan, maka (sekarang) makanlah darinya dan simpanlah”

Imam As-Syafii meriwayatkan dari Malik dari Abi Az-Zubair dari Jabir bahwasanya nabi Muhammad saw pernah melarang makan daging hewan qurban diatas tiga hari, lalu kemudian setelah itu beliau bersabda:

كُلُوا وَتَزَوَّدُوا وَادَّخِرُوا

“Makanlah dan ambillah bekal (darinya) serta simpanlah”

Dari ayat dan hadits diatas, serta hadits-hadits lainnya, juga temuan lapangan dari para sahabat, tabiin dan para ulama, akhirnya para ulama, khsusunya dari empat madzhab menyepakati utamanya dalam qurban yang hukumnya sunnah bahwa:

  1. Madzhab Hanafi

Imam Al-Kasani menuliskan sebuah hadits dalam kitabnya Bada’i’:

أَنَّهُ قَالَ «إذَا ضَحَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ وَيُطْعِمْ مِنْهُ غَيْرَهُ»

Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Jika salah satu diantara kalian berqurban maka hendaklah dia memakan sebagian daging qurbannya dan memberimakan orang lainnya dari sebagiannya”

Imam Al-Kasani melanjutkan:

وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِالثُّلُثِ وَيَتَّخِذَ الثُّلُثَ ضِيَافَةً لِأَقَارِبِهِ وَأَصْدِقَائِهِ وَيَدَّخِرَ الثُّلُثَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ} [الحج: 36] وَقَوْلِهِ – عَزَّ شَأْنُهُ – {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ} [الحج: 28] وَقَوْلِ النَّبِيِّ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا مِنْهَا وَادَّخِرُوا»

Dan lebih afdhal agar dimakan sepertiga, dan sepertiganya untuk menjamu keluarga dan para sahabat, serta disimpan sepertiganya, sesuai dengan firman Allah (QS. Al-Hajj: 36) dan (QS. Al-Hajj: 28), juga hadits Rasulullah saw:

«كُنْت نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُومِ الْأَضَاحِيِّ فَكُلُوا مِنْهَا وَادَّخِرُوا»

“Dahulu saya melarang kalian (menyimpan) daging qurban, maka sekarang makanlah dan simpanlah”19

  1. Madzhab Maliki

Ibnu Rusyd menuliskan dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid:

وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُضَحِّيَ مَأْمُورٌ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ لَحْمِ أُضْحِيَّتِهِ وَيَتَصَدَّقَ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ} [الحج: 28] . وقَوْله تَعَالَى: {وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ} [الحج: 36] وَلِقَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي الضَّحَايَا: «كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا

Para ulama sepakat bahwa mereka yang berqurban diminta untuk memakan sebagian dari

daging hewan sembelihan tersebut, menyedekahkannya, sebagaimana firman Allah (QS. Al-Hajj: 28) dan (QS. Al-Hajj: 36), serta hadits Rasulullah saw: “Makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah”20.

  1. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam As-Syafii sendiri menegaskan bahwa:

وَالضَّحِيَّةُ نُسُكٌ مِنْ النُّسُكِ مَأْذُونٌ فِي أَكْلِهِ وَإِطْعَامِهِ وَادِّخَارِهِ

Hewan qurban itu adalah ibadah yang diizinkan untuk dimakan, disedekahkan, dan disimpan21.

Mengomentari pernyatan Imam As-Syafii tersebut, maka Imam Al-Mawardi (Al-Hawi: 15/115) menjelaskan bahwa:

وَذَلِكَ مُشْتَمِلٌ عَلَى أَرْبَعَةِ أَحْكَامٍ: أَحَدُهَا: أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا. وَالثَّانِي: أَنْ يُطْعِمَ الْفُقَرَاءَ. وَالثَّالِثُ: أَنْ يُهْدِيَ إِلَى الْأَغْنِيَاءِ. وَالرَّابِعُ: أَنْ يَدَّخِرَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالْمُعْتَر} (الحج: 36) . فَنَصَّ فِي هَذِهِ الْآيَةِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَحْكَامٍ عَلَى أَكْلِهِ، وَإِطْعَامِ الْفُقَرَاءِ، وَمُهَادَاةِ الأغنياء.

(pernyataan) tersebut mencakup empat hal dalam peruntukan hewan qurban;(1): Dimakan. (2): Disedekahkan kepada orang miskin. (3): Dihadiahkan kepada orang kaya. (4): Disimpan. Sesuai dengan ayat (QS. Al-Hajj: 36). Dan ayat ini secara teks menunjukkan tiga keperuntukan, yaitu; dimakan, disedekahkan (kepada fakir) dan dihadiahkan kepada orang kaya.

Sedangkan untuk perihal bolehnya menyimpan, maka landasan dasarnya adalah hadits riwayat Imam As-Syafii dari Malik dari Abdullah bin Abu Bakr dari ‘Amrah binti Abdurrahman dari Aisyah ra: …dikatakan: Bukankah engkau melarang kami untuk memakan/meyimpan daging qurban lebih dari tiga hari? Maka Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا نَهَيْتُكُمْ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ الَّتِي دَفَّتْ فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَادَّخِرُوا

“Sesungguhya dahulu saya melarang kalian itu karena pada waktu itu sedang ada bencana, maka sekarang makanlah, sedekahkanlah dan simpanlah”22

Terkait prosentase antara empat hal diatas, maka Imam Al-Mawardi melanjutkan, bahwa Imam As-Syafii mempunyai dua pendapat; pendapat lama dan pendapat baru.

قَالَهُ فِي الْقَدِيمِ – يَأْكُلُ وَيَدَّخِرُ وَيُهْدِي النِّصْفَ وَيَتَصَدَّقُ عَلَى الْفُقَرَاءِ بِالنِّصْفِ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا البَائِسَ الفَقِيرِ) الحج: 28

Adapun pedapat lama adalah: Separuhnya untuk dimakan dan disimpan, sedangkan separuhnya lagi untuk disedekahkan, sesuai dengan firman Allah (QS. Al-Hajj: 28).

قَالَهُ فِي الْجَدِيدِ – أَنْ يَأْكُلَ، وَيَدَّخِرَ الثُّلُثَ، وَيُهْدِيَ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقَ عَلَى الْفُقَرَاءِ بِالثُّلُثِ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: {فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا القَانِعَ وَالمُعْتَرَّ{

Sedangkan pendapat baru adalah sepertiga untuk

makan dan disimpan, sepertiga untuk hadiah, dan sepertiga untuk disedekahkan kepada fakir, sesuai dengan firman Allah (QS. Al-Hajj: 3623)

  1. Madzhab Hanbali

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan (Al-Mughni: 9/448-449):

وَالِاسْتِحْبَابُ أَنْ يَأْكُلَ ثُلُثَ أُضْحِيَّتِهِ، وَيُهْدِيَ ثُلُثَهَا، وَيَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهَا، وَلَوْ أَكَلَ أَكْثَرَ جَازَ

Disunnhakan untuk memakan sepertiga dari hewan qurbannya, menghadiahkan sepertiganya, dan menyedekahkan sepertiganya. Jikapun memakan lebih dari sepertiganya maka hukumnya boleh.

Imam Ahmad berkata:

قَالَ أَحْمَدُ: نَحْنُ نَذْهَبُ إلَى حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ: يَأْكُلُ هُوَ الثُّلُثَ، وَيُطْعِمُ مَنْ أَرَادَ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ عَلَى الْمَسَاكِينِ بِالثُّلُثِ.

Kami berpendapat sesuai dengan hadits Abdullah: Dia yang berqurban memakan sepertiganya, memberi makan siapa saja yang dia mau sepertiganya, dan bersedekah dengan orang miskin sepertiganya.

Pendapat dalam madzhab ini juga mengambil hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra perihal bentuk qurbannya nabi, Ibnu Abbas ra berkata:

يُطْعِمُ أَهْلَ بَيْتِهِ الثُّلُثَ، وَيُطْعِمُ فُقَرَاءَ جِيرَانِهِ الثُّلُثَ، وَيَتَصَدَّقُ عَلَى السُّؤَّالِ بِالثُّلُثِ

“(Beliau) memberi makan keluarganya sepe

memberi makan tetangganya sepertiga, dan bersdekah kepada mereka yang meminta sepertiga” (HR. Abu Musa Al-Ashfahani)

Dan ini juga pendapat dari sahabat Ibnu Mas’ud dan Umar, dan tidak diketahui ada sahabat lainnya yang berselesih pendapat, maka kondisi seperti ini seperti ijma’, begitu tegas Ibnu Qudamah24.

12 : Menjual Kulit

Perhatikan hadits berikut ini:

مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ

Siapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya. (HR. Al Hakim).

Perihal hukum menjual kulit hewan qurban, pada ulam sedikit berbeda pebdapat, setelah memahahi hadits diatas:

  1. Haram

Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqih, bahwa apa yang sudah diqurban kepada Allah swt maka sudah tidak boleh lagi dijual.

  1. Madzhab Maliki

Imam Malik sendiri memberikan penjeasan singkatnya dalam kitabnya Al-Mudawwanah:

لَا يَشْتَرِي بِهِ شَيْئًا وَلَا يَبِيعُهُ وَلَكِنْ يَتَصَدَّقُ بِهِ أَوْ يَنْتَفِعُ بِهِ.

Tidak boleh membeli suatu barang dengannya, tidak juga menjual hewan qurban tersebut, akan tetapi semuanya disedekahkan atau dimanfaatkan25

Imam Al-Qarafi dari madzhab Maliki menegaskan:

وَالْقُرُبَاتُ لَا تَقْبَلُ الْمُعَاوَضَةَ وَإِنَّمَا اللَّهُ تَعَالَى أَذِنَ فِي الِانْتِفَاعِ بِهَا

Apa yang dipersembahkan untuk ibadah maka tidak boleh ada timbal balik (semacam upah/jual beli), namun Allah swt hanya mengizinkan untuk dimanfaatkan (saja26)

  1. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam An-Nawawi menjelaskan:

وَمَذْهَبُنَا أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ جِلْدِ الْهَدْيِ وَلَا الأضحية ولا شيء من أجزائهما

Dalam madzhab kami tidak boleh menjual kulit hewan qurban sebagaimana tidak boleh menjual bagian apapun darinya27

  1. Madzhab Hanbali

Terkait menjual kulit atau bagian lainnya, Imam

Ahmad berkata, seperti yang ditulis oleh Imam Ibnu Qudamah:

قَالَ أَحْمَدُ: لَا يَبِيعُهَا، وَلَا يَبِيعُ شَيْئًا مِنْهَا. وَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ كَيْفَ يَبِيعُهَا، وَقَدْ جَعَلَهَا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Tidak boleh menjualnya, tidak juga bagian darinya. Beliau berkata: Subhanallah, bagaimana mungkin ada yang menjualnya padahal hewan qurban tersebut sudah dipersembahkan untuk Allah swt.

Beliau melanjutkan:

وَلِأَنَّهُ جَعَلَهُ لِلَّهِ – تَعَالَى، فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ، كَالْوَقْف

Sebagaimana wakaf, maka apa yang sudah diperuntukkan untuk Allah swt tidak boleh dijual (lagi)28.

  1. Makruh

Imam As-Sarakhsi dari madzhab Hanafi menuliskan:

فَكَمَا يُكْرَهُ لَهُ أَنْ يُعْطِيَ جِلْدَهَا الْجَزَّارَ. فَكَذَلِكَ يُكْرَهُ لَهُ أَنْ يَبِيعَ الْجِلْدَ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ تَصَدَّقَ بِثَمَنِهِ كَمَا لَوْ بَاعَ شَيْئًا مِنْ لَحْمِهَا.

Sebagaimana makruh hukumnya memberi kulit hewan qurban untuk tukang jagal,maka pun demikian makruh hukumnya menjual kulitnya, namun jika yang demikian terjadi (menjualnya) maka hasil penjualan tersebut harus disedekahkan, sebagaimana jika seandainya terjadi jual beli pada

dagingnya29.

Dalam kitabnya Bada’i’, Imam Al-Kasani, juga dari madzhab Hanafi menjelasakan:

وَلَا يَحِلُّ بَيْعُ جِلْدِهَا وَشَحْمِهَا وَلَحْمِهَا وَأَطْرَافِهَا وَرَأْسِهَا وَصُوفِهَا وَشَعْرِهَا وَوَبَرِهَا وَلَبَنِهَا الَّذِي يَحْلُبُهُ مِنْهَا بَعْدَ ذَبْحِهَا بِشَيْءٍ لَا يُمْكِنُ الِانْتِفَاعُ بِهِ إلَّا بِاسْتِهْلَاكِ عَيْنِهِ مِنْ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ وَالْمَأْكُولَاتِ وَالْمَشْرُوبَاتِ، وَلَا أَنْ يُعْطِيَ أَجْرَ الْجَزَّارِ وَالذَّابِحِ مِنْهَا

Tidak boleh menjual kulitnya, lemaknya, dagingnya, kepalanya, bulunya, rambutnya, susunya dengan sesuatu yang tidak bisa dimanfaatkan, dan tidak boleh memberi bagian apapun dari hewan qurban tersebut sebagai upah kepada tukang jagal.

Imam Al-Kasani melanjutkan:

فَإِنْ بَاعَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ نَفَذَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ

Jika seandainya menjualnya (terjadi), maka yang demikian tetap sah menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad30.

13: Upah Panitia

Perlu difahami sedari awal bahwa paniti panitia qurban tidak sama dengan panitia zakat dalam hal hak yang didapatkan dari kepanitian mereka.

Kembali lagi kita perhatikan pernyataan sahabat Ali bin Thalib ra:

عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: «أَمَرَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ، وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا، وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا» ، قَالَ: «نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا»

Dari Ali ra, berkata: “Rasulullah saw menyuruhku untuk mengurus hewan qurbannya, dan menyuruhku agar aku menyedekahkan dagingnya, kulitnya, juga jilalnya, dan menyuruhku agar aku tidak memberi upah tukang jagal dengan sesuatu dari hewan qurban tersebut” Beliau bersabda:

“Kami memberi upah tukang jagal dari (uang) kami sendiri”. (HR. Muslim).

Dalam menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi dalam kitabnya Sharh Shahih Muslim, jilid 9, hal. 65 menuliskan:

وأن لا يعطى الجزار منها لِأَنَّ عَطِيَّتَهُ عِوَضٌ عَنْ عَمَلِهِ فَيَكُونُ فِي مَعْنَى بَيْعِ جُزْءٍ مِنْهَا

Tukang jagal tidak boleh diberi upah dari hewan qurban, karena upah tersebut artinya sebagai ganti dari pekerjaannya, maka yang demikian sama halnya dengan menjual bagian dari hewan qurban.

Walaupun, lanjut Imam An-Nawawi, Imam Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa boleh hukumnya memberi kulit kepada tukang jagal (atas nama upah), akan tetapi yang demikian dinilai berbeda dengan penjelasan hadits diatas.

Dalam kitab beliau yang lainnya, Imam An-Nawawi juga menuliskan (Al-Majmu’: 8/419-420),

وَلَا يَجُوزُ جَعْلُ الْجِلْدِ وَغَيْرِهِ أُجْرَةً لِلْجَزَّارِ بَلْ يَتَصَدَّقُ بِهِ الْمُضَحِّي وَالْمُهْدِي أَوْ يَتَّخِذُ مِنْهُ مَا يَنْتَفِعُ بِعَيْنِهِ كَسِقَاءٍ أَوْ دَلْوٍ أَوْ خُفٍّ وَغَيْرِ ذَلِكَ

Dan tidak boleh menjadikan kulit ataupun yang lainnya sebagai upah tukang jagal, akan tetapi (semuanya) disedekahkan oleh dia yang berqurban, atau (bagian hewan tersebut) dimanfaatkan sebagai wadah air, ember, sepatu, atau lainnya, yang sifatnya tidak menghilangkan wujud asli bagian hewan qurban tersebut.

  1. Madzhab Hanafi

Imam Al-Kasani dari madzhab Hanafi

وَلَا أَنْ يُعْطِيَ أَجْرَ الْجَزَّارِ وَالذَّابِحِ مِنْهَا

dan tidak boleh memberi bagian apapun dari hewan qurban tersebut sebagai upah kepada tukang jagal31.

  1. Madzhab Maliki

Imam Al-Qarafi dari madzhab Maliki menegaskan, seperti yang beliau tulis dalam kitabnya Az-Dzakhirah (4/154):

وَالْقُرُبَاتُ لَا تَقْبَلُ الْمُعَاوَضَةَ وَإِنَّمَا اللَّهُ تَعَالَى أَذِنَ فِي الِانْتِفَاعِ بِهَا

Apa yang dipersembahkan untuk ibadah maka tidak boleh ada timbal balik (semacam upah/jual beli), namun Allah swt hanya mengizinkan untuk dimanfaatkan (saja)32

  1. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir menuliskan:

فَقَسَّمَ الْجُلُودَ كَمَا قَسَّمَ اللَّحْمَ، فَدَلَّ عَلَى اشْتِرَاكِهِمَا فِي الْحُكْمِ.

(dari hadits tersebut jelaslah) bahwa Ali bin Abi Thalib membagikan kulit sebagaimana beliau

membagikan daging, maka yang demikian berarti hukum kulit itu sama dengan hukum daging.

Untuk itu, lanjut Imam Al-Mawardi:

وَلِأَنَّ مَا لَمْ يَجُزْ بَيْعُ لَحْمِهِ لَمْ يَجُزْ بَيْعُ جِلْدِهِ

Karena tidak obleh menjual dagingnya maka tidak boleh pula menjual kulitnya33.

  1. Madzhab Hanbali

Imam Ahmad berkomentar, seperti yang tulis oleh Imam Ibnu Qudamah (Al-Mughni: 9/450-451):

وَلَا يُعْطَى الْجَازِرُ بِأُجْرَتِهِ شَيْئًا مِنْهَا. وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ. وَرَخَّصَ الْحَسَنُ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، فِي إعْطَائِهِ الْجِلْدَ

Tukang jagal tidak boleh diberi upah dengan sesuatu dari hewan qurban, ini juga pendapat Malik, Syafii, dan ulama-ulama ra’yi, walaupun ada juga yang membolehkan seperti pendapat Al-Hasan, Abdullah bin Ubaid bin Umair34.

Dengan demikian umumnya para ulama menilai tidak boleh memberi bagian apapun dari hewan qurban kepada tukang jagal, atau panitia qurban secara umum atas nama upah panitia, namun memberi mereka atas niat sedekah dan hadiah dari dia berqurban maka hukumnya boleh.

Segala biaya untuk pemotongan hewan qurban

harus diambilkan dari harta yang lain, bukan dari hewan qurban itu sendiri. Karenanya bagi panitia boleh meminta biaya tambahan untuk pemotongan bagi yang menitipkan hewan qurbannya kepada panitia qurban.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *