MAKALAH
Konsep Tasawuf Hamzah Fansuri dan Nuruddin Al Raniri
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akidah Dan Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu: Satrio, M.A
Disusun oleh:
Marsha Putri Asmarani (24882043092)
Nurika Sari ( 24882043090)
Vania Istiazah Nabila ( 24882043257)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU TAHUN 2025
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini yang berjudul “Konsep Tasawuf Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri” dengan baik dan lancar. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw., suri teladan umat manusia, beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Penulisan karya ini bertujuan untuk mengkaji dan membandingkan pemikiran dua tokoh penting dalam sejarah tasawuf di Nusantara, yaitu Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri. Keduanya memberikan kontribusi besar dalam perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam bidang tasawuf, meskipun memiliki pendekatan dan pandangan yang berbeda. Melalui kajian ini, penulis berharap dapat memberikan gambaran yang lebih dalam mengenai kekayaan intelektual Islam lokal serta pentingnya memahami keberagaman pemikiran dalam Islam.
Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala bentuk kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam penyusunan karya ini.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangsih kecil dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam studi tasawuf di Nusantara.
Bintan, 2 Mei 2025
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 2
BAB II 3
A. Hamzah Fansuri 3
1. Biografi Hamzah Fansuri 3
2. Kisah Hidup Hamzah Fansuri 4
3. Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri 5
4. Karya-karya Hamzah Fansuri 7
B. Nuruddin Al Raniri 9
1. Biografi Nuruddin Al Raniri 9
2. Kisah Hidup Nuruddin Al Raniri 9
3. Ajaran Tasawuf Nuruddin Al Raniri 11
4. Karya-karya Nuruddin Al Raniri 15
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf sebagai dimensi esoterik dalam Islam telah memainkan peran penting dalam pengembangan spiritual umat Muslim, khususnya di kawasan Nusantara. Pada masa perkembangan Islam di abad ke-16 dan ke-17, muncul dua tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam di dunia Melayu, yakni Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri. Keduanya memiliki kontribusi besar dalam penyebaran ajaran tasawuf, meskipun memiliki pendekatan dan pandangan yang berbeda.
Hamzah Fansuri dikenal sebagai pelopor tasawuf falsafi di Nusantara. Ia mengadopsi dan mengembangkan ajaran Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud) yang dipengaruhi oleh pemikiran Ibn ‘Arabi. Melalui karya-karyanya yang ditulis dalam bentuk syair dan prosa, Hamzah menyampaikan gagasan bahwa Tuhan dan makhluk merupakan satu kesatuan dalam keberadaan yang hakiki. Pandangan ini sangat menekankan aspek spiritual yang mendalam serta pengalaman mistik dalam pencapaian makrifat kepada Allah.
Sebaliknya, Nuruddin al-Raniri, yang datang kemudian, menolak ajaran Wahdat al-Wujud yang dianggapnya bertentangan dengan prinsip-prinsip tauhid yang murni. Ia mengedepankan tasawuf akhlaki dan lebih rasional, serta menekankan pentingnya pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur yang dianggapnya menyimpang. Al-Raniri bahkan mengecam dan membakar beberapa karya Hamzah Fansuri yang dianggap sesat. Pertentangan pemikiran antara keduanya mencerminkan dinamika intelektual Islam di Nusantara yang tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga filosofis dan kontekstual.
Perbedaan pandangan ini tidak hanya menarik dari sisi teologis dan filosofis, tetapi juga menunjukkan adanya ruang dialog dan perkembangan pemikiran Islam yang khas di dunia Melayu. Oleh karena itu, kajian tentang konsep tasawuf Hamzah Fansuri dan al-Raniri menjadi penting untuk memahami warisan intelektual Islam di Indonesia, serta untuk melihat bagaimana Islam diadaptasi dalam konteks lokal dengan beragam pendekatan spiritual.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tasawuf yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri?
2. Bagaimana pandangan tasawuf menurut Nuruddin al-Raniri?
3. Apa perbedaan mendasar antara pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri?
4. Apa dampak dari perbedaan pemikiran tasawuf tersebut terhadap perkembangan Islam di Nusantara?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan konsep tasawuf yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri.
2. Menguraikan pandangan tasawuf menurut Nuruddin al-Raniri.
3. Menganalisis perbedaan mendasar antara pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri.
4. Mengidentifikasi dampak perbedaan pemikiran tasawuf keduanya terhadap perkembangan pemikiran Islam di Nusantara.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hamzah Fansuri
1. Biografi Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah tokoh tasawuf yang hidup di Aceh dan memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Ajaran dan paham tasawufnya telah membawa implikasi luas terhadap perkembangan tasawuf wujudiyah di Nusantara seiring dengan perkembangan tasawuf yang bercorak Sunni. Dari perspektif sejarah, Aceh merupakan wilayah strategis dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Aceh dengan peran strategisnya dalam penyebaran Islam di Nusantara, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap penyebaran Islam di daerah lain, adalah bukti bahwa Aceh memang layak disebut sebagai “Serambi Makkah” atau halaman depan atau pintu gerbang ke Tanah Suci Makkah. Di Aceh telah berkembang corak tasawuf tidak hanya Falsafi, namun juga Sunni.
Kedua corak tasawuf tersebut telah berhasil menemukan momentumnya dan sangat berpengaruh terhadap dinamika tasawuf berikutnya, termasuk ke daerah-daerah lain di Nusantara. Oleh karena itu, pembahasan tentang tasawuf di Nusantara hampir pasti selalu dimulai dari pembahasan tasawuf di Aceh. Di antara tokoh-tokoh ulama besar (par excellence) Aceh yang sangat berpengaruh melalui karya-karya tasawufnya, adalah Syekh Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumaterani, dan Nuruddin al-Raniri.
Hamzah adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang sangat berpengaruh pada masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya. Beliau juga merupakan sosok ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa. Namun, sejarah kehidupan tokoh ini masih diliputi oleh misteri. Sumber-sumber tempatan (traditional sources) abad ke-17 M., seperti Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan Bustan al-Salatin, tidak sedikitpun menyinggung secara eksplisit mengenai tokoh ini. Demikian juga haknya dengan berbagai sumber luar, terutama karya-karya Eropa.
Riwayat hidup Hamzah Fansuri masih dipersoalkan oleh para peneliti dan sangat sulit diketahui. Sampai sekarang tidak ditemukan bukti-bukti tertulis yang memaparkan masa dan perjalanan hidupnya, apa saja risalah tasawuf dan berapa banyak jumlah puisi asli yang telah ditulis olehnya. Sejarah lahir dan meninggalnya juga tidak diketahui secara pasti, begitu juga tidak ada yang tahu di mana dia dimakamkan.
Ada yang mengatakan bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh seorang Arab zaman dahulu dinamai “Fansur”. Itulah sebabnya di belakang namanya disebut “Fansuri”. Kota Barus atau Fansur, merupakan pusat pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya. Masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin Pasai yang menjadi pengikutnya berkomentar dalam buku tulisannya Syarh Rub’, bahwa Hamzah Fansuri meninggal pada tahun 1630.
Meskipun biografi mengenai kehidupan Hamzah Fansuri sering tidak ditemukan, namun banyak para sejarawan yang tidak lupa membahas Hamzah Fansuri mengenai kesufian dan syair-syair yang dikarang olehnya. Serta ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri. Selama Islam terus berkembang di Nusantara, Hamzah Fansuri mampu mengajarkan tasawuf etika, estetika, dan metafisika. Ajaran Hamzah Fansuri tidak jauh dari tasawuf yang dikenal di Persia yaitu wujudiyah, karena memang tasawufnya berkembang dari Persia, ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri lebih mudah diterima, terutama di Aceh, tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pada akhir Abad 16 M (1588-1604).
2. Kisah Hidup Hamzah Fansuri
Daripada berbagai-bagai sumber disebutkan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri telah belajar berbagai ilmu yang menghabiskan waktu yang lama. Selain belajar di Aceh sendiri beliau telah mengembara ke pelbagai tempat, di antaranya ke Banten (Jawa Barat), bahkan sumber yang lain menyebut bahwa beliau pernah mengembara keseluruh tanah Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India , Parsi dan Arab. Dikatakan bahwa Syeikh Hamzah al-Fansuri sangat mahir dalam ilmu-ilmu fiqah, tashawuf, falsafah, manthiq, ilmu kalam, sejarah, sastra dan lain-lain. Dalam bidang bahasa pula beliau menguasai seluruh sektor ilmu Arabiyah, fasih dalam ucapan bahasa itu, bisa berbahasa Urdu, Parsi, Melayu dan Jawa.
Pengalaman kesufian yang diperoleh dari pengembaraan ke berbagai negeri, dan daerah di Nusantara memungkinkan Hamzah Fansuri menuangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam banyak karangan. Karangan Hamzah Fansuri tersebut terbagi dalam dua bentuk, yakni karya yang berbentuk prosa dan karya yang berbentuk syair.
Selain dikenal sebagai tokoh sufi dan penyair yang terkemuka, Hamzah Fansuri juga dianggap sebagai seorang yang ahli dalam beberapa bidang lainnya, yaitu dalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Karya-karyanya banyak dibaca oleh masyarakat. Beliau juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu dalam syair-syairnya.
Beliau menjadi seorang tokoh yang multitalenta. Tidak hanya mampu dalam bidang tertentu saja, namun mampu dan ahli dalam berbagai bidang. Itulah mengapa para sejarawan banyak membahas mengenai keahlian Hamzah Fansuri.
3. Ajaran Tasawuf Hamzah Fansuri
Ajaran Tasawuf Wujudiyah Hamzah Fansuri Hamzah Fansuri memiliki pandangan tasawuf yang berbau panteisme (wujudiyah). Ibnu ‘Arabi dianggap sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri melalui karyakaryanya. Bahkan Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan paham wihdat al-wujud Ibnu ‘Arabi untuk kawasan Asia Tenggara. Hamzah Fansuri juga mengutip pendapat para sufi yang beraliran wujudiyah dan non-wujudiyah untuk menjelaskan dan memperkuat pendapat Ibnu ‘Arabi yang dinisbatkan kepadanya, seperti Abu Yazid al-Busthami, al-Junaid al-Baghdadi, al-Hallaj, al-Ghazali, al-Mas’udi, Farid al-Din al-Attar, Jalal al-Din al-Rumi, al-‘Iraqi, al-Maghribi Syah Ni’matullah, dan al-Jami.
Hamzah Fansuri tidak hanya menerjemahkan dan menghimpun pendapat mereka, namun juga dengan keahlian dalam menyusun kata-kata sehingga sesuai dengan paham wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi. Walaupun demikian Hamzah Fansuri masih disebut sebagai penganut tarekat Qadiriyah yang dinisbatkan kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan beraliran Sunni. Sedangkan dalam bidang fikih, Hamzah Fansuri disebut bermazhab al-Syafi’i.
Di Nusantara, Hamzah Fansuri lebih dikenal sebagai ulama sufi yang banyak mengadopsi dan mengembangkan paham tasawuf wujudiyah sebagaimana yang telah dikembangkan oleh sufi panteis di atas tadi. Paham wujudiyah (wahdat al-wujud) adalah bahwa Tuhan tidak bertentangan dengan gagasan tentang penampakan pengetahuan-Nya yang bervariasi di alam nyata ini (‘alam al-khalq). Tuhan adalah Dzat Mutlak, satu-satunya di dalam ke-Esa-anNya, tanpa ada sekutu bagi-Nya; dan oleh karena itu Tuhan adalah tanzih (transenden). Manifestasi pengetahuan-Nya bervariasi dan memiliki penampakan lahir dan batin di samping tanzih (transenden) Dia juga tasybih (imanen). Hamzah Fansuri memulai ajaran tasawufnya dengan mengatakan bahwa Tuhan adalah Dzat yang Maha Suci dan Maha Tinggi yang menciptakan manusia. Hamzah Fansuri mengatakan:
Ketahuilah, hai segala kamu anak Adam yang Islam, bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kita, dari pada tiada diadakannya; dan dari pada tiada bernama diberi nama; dan dari pada tiada berupa diberi berupa; lengkap dengan telinga, dengan hati, dengan nyawa, dengan budi. Yogya kita cari Tuhan kita ini supaya kita kenal dengan makrifat kita atau dengan khidmat kita kepada guru yang sempurna mengenal dia supaya jangan taqsir kita”. Dari ungkapan di atas, ada dua pandangan esensial Hamzah Fansuri, yaitu pertama, tentang keberadaan Tuhan dianggap memiliki posisi sangat Tinggi dan Suci di hadapan manusia (makhluq). Kedua, seorang salik (pejalan tasawuf) harus melalui seorang guru/Syeikh yang dapat membimbing dan mengantarkan si salik untuk dapat menemukan Tuhannya (ma’rifatullah). Dalam salah satu syairnya, Hamzah Fansuri mengatakan: Cahayanya-Nya terlalu nyarak Dengan rupa kita yang banyak Ia juga takur dan arak Jangan kau cari jauh, hai anak. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri lainnya adalah terkait dengan hakikat wujud dan penciptaan. Hamzah Fansuri melihat bahwa wujud itu hanya satu walaupun terlihat berbilang (banyak). Dari wujud yang satu ini ada yang merupakan kulit (madzhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin). Semua benda di dunia ini sebenarnya merupakan pancaran (manifestasi/tajalliyat) dari yang hakiki, yang disebut al-Haqq Ta’ala (Allah Swt. itu sendiri). Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak. Sedangkan alam semesta ini merupakan gelombang lautan wujud Tuhan.
Pengaliran dari Dzat yang Mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap, asap, dan awan, yang kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la ta’ayyun. Itu juga yang disebut tanazul. Kemudian segala sesuatu kembali lagi pada Tuhan (taraqqi), yang digambarkan sebagai uap, asap, awan, lalu hujan dan sungai, dan kembali lagi ke lautan. Ajaran Hamzah Fansuri inilah yang kemudian mendapat pertentangan dari para ulama sufi Sunni Nusantara. Perumpamaan antara Tuhan dan alam tersebut diilustrasikan oleh Hamzah Fansuri melalui ungkapannya berikut: Laut tiada bercerai dengan ombaknya, ombak tiada bercerai dengan lautnya. Demikian juga dengan Allah Swt., tiada bercerai dengan alam, tetapi tiada di dalam alam dan tiada di luar alam dan tiada di bawah alam dan tiada di kanan alam dan tiada di kiri alam dan tiada di hadapan alam dan tiada di belakang alam dan tiada bercerai dengan alam dan tiada bertemu dengan alam dan tiada jauh dari alam.36 Ungkapan Hamzah Fansuri di atas jelas menunjukkan paham tasawufnya yang panteis. Sebab ungkapan tersebut seakan menunjukkan bahwa tidak ada jarak antara Tuhan dengan alam (makhluq). Ungkapan tersebut sesuai dengan hadis Nabi Saw., bahwa barangsiapa mengenal dirinya maka akan dapat mengenal Tuhannya (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu)
4. Karya-karya Hamzah Fansuri
Karya tulis Hamzah Fansuri menurut para peneliti berjumlah tiga buah risalah berbentuk prosa, dan 32 merupakan kumpulan syair. Syeikh Hamzah al-Fansuri dapat digolongkan kepada peringkat awal dalam menghasilkan karya puisi/sastra dalam bahasa Melayu, sangat menonjol terutama sekali dalam sektor sufi. Lebih tersebarlah lagi kemasyhurannya karena terjadi kontroversi yang dilemparkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengannya yang dimulai dengan karya-karya Syeikh Nuruddin ar-Raniri, berlanjutan terus hingga sampai ke hari ini karya-karya Syeikh Hamzah al Fansuri selalu dibicarakan dalam forum-forum ilmiah. Di bawah ini beberapa karya beliau yang telah diketahui, yaiitu:
1). Syarb al- ‘Asyiqin atau Zinatul Muwahhidin (Minuman semua orang yang rindu). Risalah ini berisi ringkasan ajaran tentang wahdat al-wujud dan cara mencapai makrifat kepada Allah.
2). Asrar al-’Arifin fi Bayan ‘Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Rahasia orangorang ‘arif dalam menjelaskan ilmu suluk dan tauhid). Risalah ini berisi uraian atau penafsiran terhadap 15 bait puisi-puisi sufistik yang ia ciptakan sendiri mengenai masalah metafisika dan ontologi wujudiyah.
3). Al-Muntahi (Ufuk terjauh), Kitab ini membicarakan tentang bagaimana penciptaan alam, bagaimana Tuhan memanifestasikan diri-Nya, dan bagaimana upaya manusia untuk kembali ke asalnya.
4). Ruba’i Hamzah Fansuri.
5). Kasyf Sirri Tajalli ash-Shibyan.
6). Kitab fi Bayani Ma’rifah.
7). Syair Si Burung Pingai.
8). Syair Si Burung Pungguk.koordinasi
9). Syair Sidang Faqir.
10). Syair Dagang.
11). Syair Perahu, syair berbahasa Melayu ini memuat dasar-dasar tasawuf Hamzah Fansuri. Ia menggunakan perahu sebagai simbol kehidupan
12). Syair Ikan Tongkol/Tunggal, disebut juga Syair Si Burung Pingai. Syair yang menjelaskan tentang proses fana’ dan baqa’ serta tahapan-tahapan lain yang harus ditempuh si salik menuju kesatuan wujud.
Menurut para pengkaji naskah-naskah kuno, karya-karya tulis Hamzah Fansuri tersebut merupakan awal dari kelahiran syair-syair dan literatur Islam dalam bahasa Melayu.27 Oleh karena itu, Hamzah Fansuri sering dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi awal paling penting di wilayah Melayu-Indonesia, dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusasteraan Melayu .
B. Nuruddin Al Raniri
1. Biografi Nuruddin Al Raniri
Nama lengkapnya adalah Nur al-Din Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Ar-Raniry. Dipanggil Ar-Raniry karena beliau dilahirkan di daerah Ranir (Rander) yang terletak dekat Gujarat (India) pada tahun yang belum diketahui. Ia adalah keturunan campuran India-Arab dari keluarga sufi dan ulama. Nenek moyangnya kemungkinan termasuk dalam keluarga al-Hamid dari Zuhra, salah satu dari sepuluh keluarga Quraiys. Namun bisa jadi ia adalah keturunan Humayd yang sering dihubungkan dengan Abu Bakar Abdullah ibn Zubair al-Asadi al-Humaydi, seorang ulama terkenal di Mekkah. Keluarga Ar-Raniry telah memiliki hubungan yang baik dengan dunia Melayu, khususnya Kerajaan Aceh Darussalam. Sehingga ada dugaan bahwa sebelum berangkat ke Aceh ia sudah memiliki kemampuan dalam bahasa Melayu dan menguasai ilmu agama Islam yang sangat luas.
2. Kisah Hidup Nuruddin Al Raniri
Perjalanan intelektual Nuruddin al-Raniri dimulai ditanah kelahirannya (Ranir) yaitu belajar ilmu agama, kemudian Nuruddin al-Raniri pindah ke Tarim, Hadramaut, dan Arab Selatan. Kemudian tahun 1621 M Nuruddin al-Raniri menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam nabi. Selama di Makkah dan Madinah Nuruddin al-Raniri menemui dan menjalin hubungan dengan para jamaah haji dan penduduk asal nusantara yang sudah menetap dan belajar di Arab. Selaian itu, Nuruddin al-Raniri juga belajar ilmu tarekat rifa’iyyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifai (w. 1183 M) kepada Syaikh Said Abu Hafs Umar bin ‘Abd Allah Ba Syaiban atau yang terkenal dengan nama Sayid Umar al-Aydarus dari Tarim. Setelah selasai kemudian Nuruddin al-Raniri oleh gurunya dijadikan sebagai Syaikh dan pengganti gurunya (khalifah). Walau demikian, Nuruddin al-Raniri ternyata juga belajar tarekat aydarusiyyah dan qadiriyyah.
Nuruddin al-Raniri selanjutnya merantau ke nusantara, tepatnya pada 31 Mei 1637 M, Nuruddin al-Raniri datang ke Aceh di masa Sultan Iskandar Tsani. Ada dua asumsi yang mengatakan kenapa Nuruddin al-Raniri memilih Aceh. Pertama karena Aceh pada saatitu telah menggantikan peran Malaka yang dikuasai Portugis, sebagai pusat perdagangan, politik, dan studi islam di kawasan Asia Tenggara. Kedua karena mengikuti jejak pamannya Muhammad al-Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid al-Raniri (1588 M). Singkatnya, Nuruddin al-Raniri diterima dengan terbuka oleh Sultan Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) terutama dalam hal pemikiran keagamaannya, yang dianggap sejalan dengan sang sultan. Sebagai bentuk penghormatan kepada Nuruddin al-Raniri kemudian Sultan Iskandar Tsani mengangkatnya sebagai mufti kerajaan (ketua penasehat). Aceh dikenal dengan kuat atas paham wujudiyyahnya, sehingga menggugah Nuruddin al-Raniri untuk menuliskan beberapa kitab sebagai pembanding. Selain itu juga sultan sendiri tidak jarang menyuruh Nuruddin al-Raniri untuk menulis kitab-kitab terutama tasawuf, utamanya untuk membatasi pengaruh paham wujudiyyah di Aceh. Salah satu peristiwa penting dalam membatasi pengaruh paham wujudiyyah, Nuruddin al-Raniri didukung oleh sultan mengadakan majelis persidangan terkait paham wujudiyyah dengan 40 ulama pendukung paham tersebut. Dalam kesempatan tersebut Nuruddin al-Raniri mengungkapkan kelemahan pahan wujudiyyah sekaligus bertentangan dengan al-Quran dan Hadits. Atas kewenangan sultan kemudian kitab kitab wujudiyyah karya Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin al-Sumaterani dibakar di depan masjid Baiturrahman Banda Aceh. Di tahun ke-7 sebagai mufti kerajaan, Nuruddin al-Raniri memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, tepatnya di tahun 1644 M.
Di tahun itu juga Nuruddin al-Raniri sebenarnya sedang menulis kitab jawahir baru sampai bab lima. Penyelesaian penulisan kitabnya selanjutnya diserahkan kepada murid terdekatnya. Selain dikenal sebagai ulama Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang sufi, teolog, faqih, dan politisi, serta dikenal juga sebagai sastrawan, yaitu mempopulerkan bahasa Melayu sebagai bahasa ke dua di dunia islam setelah bahasa Arab dan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Nuruddin al-Raniri juga dianggap sebagai pembaharu dalam bidang metodologi penulisan ilmiah, pendapat ini didukung atas semua tulisan Nuruddin al-Raniri selalu menyebutkan sumber referensi dalam memperkuat argumen yang dipaparkannya. Nuruddin al-Raniri terkenal sebagai seorang penulis produktif. Tulisannya meliputi berbagai cabang ilmu agama, seperti sejarah, fikih, Hadits, akidah, mistik, filsafat, dan ilmu perbandingan agama.
3. Ajaran Tasawuf Nuruddin Al Raniri
Nuruddin Ar-Raniry, Tokoh tasawuf yang terkenal dan sebagai pelopor anti paham wujudiyyah di Aceh pada masa pemerintahan Iskandar Tsani. Otaknya yang sangat cerdas berhasil menjatuhkan dan melenyapkan paham Wujudiyyah yang sedang berkembang saat itu. Ia memiliki banyak keahlian selain sebagai sufi, juga ahli teolog, ahli fikih, ahli hadits, sejarahwan, ahli perbandingan agama, dan politisi.
Dan ia juga seorang khalifah tarekat rifa’iyah yang kemudian ia kembangkan sampai ke wilayah Melayu. Menurut pandangan Azyumardi Azra, Ar-Raniri dalam hal Kalam dan Tasawuf dengan fasih mengutip Imam al-Ghazali, Ibn ‘Arabi, al-Qunyawi, al-Qasyani, al- Fairuzabadi. al-Jilli, ‘Abd ar-Rahman al-Jami’, Fadhlullah al-Burhanpuri, dan para ulama terkemuka lainnya. Dalam bidang fikih, merujuk buku-buku Syafi’i standar seperti Minhaj at-Thalibin, karya an-Nawawi, Fath al Wahhab bin Syarh Minhaj at-Thullab, karya Zakariyya al-Anshari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtashar karya Ibn Hajar, Kitab al- Anwar karya al-Ardabili atau Nihayat al Muhtaj (Ila Syarh al-Minhaj, karya an-Nawawi) karya Syams ad-Din ar-Ramli. 4 Nuruddin Ar-Raniry adalah sufi yang pernah menjabat Syeikh al-Islam atau mufti di kerajaan aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani. Ia hidup di Aceh selama 7 tahun.
Karakteristik Pemikiran Islam Nuruddin Ar-Raniry sebagai alim, mufti, dan penulis produktif yang menentang doktrin Wujudiyyah yang dianut oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani. Menurut Ar-Raniry, Wujudiyyah itu suatu paham yang menyesatkan. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Dan pada tahun 1054/1644, ia meninggalkan Aceh karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dari murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.
Nuruddin Ar-Raniry, adalah seorang sosok sufi yang tidak toleran dan ortodoks, yang tidak menghargai karya dan pemikiran orang lain. Tetapi disisi lain ia dianggap berjasa dalam mengembangkan ilmu keislaman yang integral antara syariat dan tasawuf. Dalam kajian yang dilakukan al-Attas mengenai Ar-Raniry, ia cenderung mendukung argumen Daudy. Ia mengatakan Ar-Raniry sebagai ulama yang cerdas, yang dikaruniai kebijaksanaan dan diberkati denan pengetahuan yang otentik, yang berhasil menjelaskan ajaran-ajaran keliru tokoh wujudiyyah. Bukti kecerdasan dan pengetahuan Ar- Raniry yang luas dalam ilmu keagamaan terlihat dari banyaknya karya yang dapat kita peroleh hingga kini. Ia menulis dalam bidang tauhid, tasawuf, fikih ushul dan fikih praktis serta menulis sejarah Aceh masa itu yang sampai sekarang menjadi referensi utama dalam sejarah Aceh. Berikut ini sebagian ajaran Nuruddin al Raniri,
1. Wujud Tuhan.
Nuruddin al-Raniri mengungkapkan bahwa wujud Tuhan adalah esa lagi hakiki tanpa harus memerlukan dalil apapun.
2. Sifat dan zat Tuhan.
Sifat dan zat Tuhan harus dilihat dari dua aspek pertama aspek wujud; yaitu antara sifat dan zat tidak memiliki perbedaan karena wujud yang hakiki adalah Allah Swt. Kedua aspek pengertian; bahwa dari segi pengertian antara sifat dan zat itu berbeda begitu juga antara sifat satu dengan sifat lainnya.
Selanjutnya Nuruddin al Raniri membagi sifat Tuhan menjadi dua sebagaimana diterangkan berikut: 1. Sifat zat, terdiri dari qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafatu li’l hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafshi (berdiri sendiri), dan wahdaniyyat (keesaan); 2.Sifat ma’ani, terdiri dari al-hayah (hidup), al-ilmu (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sam’u (mendengar), al-bashr (melihat) dan al-kalam (berbicara). Dari sifat ma’ani dikenalah sifat ma’nawiyyah yaitu al-Hayyu (Yang Hidup), al-‘Alimu (Yang Mengetahui), al-Qadiru (Yang Berkuasa), al-Muridu (Yang Berkehendak), al-Sami’u (Yang Mendengar), al-Bashiru (Yang Melihat) dan al-Mutakallimu (Yang Berbicara). Dan dari sifat-sifat ma’nawiyah lahir sifat sifat fi’il (perbuatan) yang berhubungan dengan manusia yaitu al-Khaliq (Yang Mencipta), al-Raziq (Yang Memberi Rezeki), al-Hadi (Yang Memberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Menghidupkan), dan al-Mumit (Yang Mematikan);
3. Tajalli serta A’yan Tsabitah.
Nuruddin al-Raniri mengutip hadits qudsi bahwa Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang terpendam (kanzah makhfiyyan). Aku ingin supaya dikenal, maka Aku jadikan alam ini, sehingga itu mereka mengenal Aku. Tajalli dalam pandangan Nuruddin al-Raniri berlangsung dalam dua martabat, yaitu: 1. Martabat wahidah; Pada martabat ini terjadi tajalli zat pada sifat yang disebut syu’un zat atau ta’ayyun awwal. Ditegaskan bahwa sifat-sifat itu identik dengan zat Tuhan, dan tajalli sifat pada hakikatnya adalah peristiwa ma’nawi yang timbul dari pengertian akal yang mengharuskan adanya zat terlebih dahulu dari sifat yang wujudnya selalu mengikuti zat. Intinya Nuruddin al-Raniri memandang bahwa zat Tuhan tidak pernah sepi (mujarrad) dari sifat. Martabat wahidiyyah; Pada martabat ini terjadi tajalli asma yang juga disebut ta’ayyun atau a’yan tsabitah (hakikat alam). Mengingat Tuhan bersifat ilmu, maka ada ma’lum (yang diketahui), dan isi yang diketahui, itu adalah hakikat alam semesta atau a’yan tsabitah. Oleh karena itu, a’yan tsabitah adalah hakikat alam yang merupakan objek yang diketahui (suwar ma’lumat) yang terletak dalam ilmu Allah Swt. Karena sifat identik dengan zat, maka hakikat alam atau a’yan tsabitah juga tidak berbeda dengan zat Allah Swt. Dengan kata lain, segala hakikat telah ada dalam zat Tuhan sebelum bertajalli dalam ilmuNya. Selain itu, dibedakan secara tegas bahwa perbedaan antara zat Allah dan a’yan tsabitah bukan terletak pada wujudnya, karena yang berwujud adalah Tuhan, tetapi perbedaan hanya ada pada pemahaman akal semata. Sedangkan alam tidak lebih dari bayangan dan tidak memiliki wujud, dan hanya berperan sebagai wadah fenomena indrawi atas tajalli Allah melalui sifat asmaNya.
4. Manusia
Manusia terdiri atas jasad dan ruh, jasad adalah wadah dari ruh, yang tercipta dari alam ciptaan (alam khalaq) yang terdiri atas berbagai unsur material.
Sedangkan ruh atau nasf nathiqah (jiwa berpikir) adalah hakikat segala manusia mengetahui segala sesuatu, ruh berasal dari alam arwah dan jasad dijadikan sebagai tempat. Insan kamil berasal dari nur Muhammad dan selalu berpindah dalam berbagai bentuk dari satu generasi ke generasi selanjutnya, mulai para rasul, para nabi, para sahabat, dan seterusnya hingga berakhir di nabi Isa. Nur Muhammad adalah hakikat pertama yang muncul dalam ilmu Allah atau yang disebut ta’ayyun awal yang lahir dari tajalli zat atas zat.
5. Agama.
Agama terbagi atas empat bagian yaitu iman, islam, makrifat, dan tauhid.
a. Iman; yang dimaksud terbagi menjadi dua, yaitu: pertama iman umum (mujmal) ialah beriman kepada Allah beserta sifat-sifatnya dan beriman pada rasul beserta sabda-sabdanya; kedua iman terperinci (mufashshal) yang terbagi atas enam perkara, yaitu:
1) iman kepada Allah dan nabi Muhammad, mengakui zat dan sifat Allah Swt. Sedangkan iman atas nabi Muhammad ialah menyakini bahwa benar sebagai utusan Allah dan banar dari segala yang diajarkannya;
2) iman kepada malaikat.
3) iman kepada kitab suci;
4) iman kepada rasul;
5) iman kepada hari kiamat; dan
6) iman kepada qada’ dan qadar;
b. Islam; manusia dikatakan islam ketika melaksanakan lima hal, yaitu :
1) mengucap dua kalimat syahadat;
2) mengerjakan shalat lima waktu;
3) membayar zakat;
4) berpuasa di bulan ramadhan; dan
5) menjalankan ibadah haji;
c. Makrifat adalah pengetahuan atas zat, sifat, dan perbuatan Allah Swt;
d. Tauhid ialah pengetahuan lebih dalam tentang keesaan Allah, zat, sifat-sifat, dan fiilNya; Kritik pada Paham Wujudiyyah.
1. Hamzah al-Fansuri mengajarkan ajaran wujudiyyah (panteisme), yaitu Tuhan dalam kandungan (immanen) alam. Tuhan adalah hakikat fenomena alam ini;
2. Nyawa bukan merupakan khalik dan bukan juga makhluk;
3. Al-Qur’an adalah makhluk;
4. Nyawa berasal dari Tuhan, dan kembali akan bersatu denganNya, seperti ombak kembali ke laut; Persamaan dengan Hamzah al-Fansuri ialah menganggap alam tidak memiliki bayangan dan yang hakiki hanyalah Tuhan. Perbedaannya, Nuruddin al-Raniri menganggap bahwa ketiadaan alam ini disebabkan oleh yang esa dari Tuhan, sementara wujud lain adalah majazi. Sedangkan Hamzah al-Fansuri menganggap bahwa yang meniadakan alam ini adalah wujud Tuhan yang hakiki yang ada dalam kandungan alam tersebut, sehingga keduanya merupakan satu-kesatuan hakikat wujud yang tidak dapat dipidahkan.
4. Karya-karya Nuruddin Al Raniri
Jumlah karya tulisannya kurang lebih 29 kitab. Karyanya dalam bidang fikih yang cukup populer adalah al-Shirath al-Mustaqim (jalan lurus), membahas berbagai masalah ibadah, seperti shalat, puasa, dan zakat. Karya-karya lainnya antara lain bustan al-Shalathin fi dzikir al-‘Awwalin wa al-Akhirin (berisi sejarah), dan ‘Asrar alInsan fi ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman (berisi ilmu kalam).
Berikut ini adalah beberapa hasil karya Nuruddin Ar-Raniry, antara lain sebagai berikut:
1. Lathâif al-Asrar (Kehalusan Rahasia), sebuah kitab berbahasa Melayu yang membahas ilmu tasawuf.
2. Nubdzah fi Da’wa azh-Zhil ma’a Shâhibih, yang berisi soal-jawab mengenai kesesatan ajaran Wujudiyyah.
3. Asrâr al-Insân fi Ma’rifat ar-Ruh wa ar-Rahmân (Rahasia Manusia dalam Mengetahui Roh dan Tuhan), sebuah kitab berbahasa Melayu dan Arab yang membahas manusia, terutama roh, sifat, hakikatnya, serta hubungan manusia dengan Tuhan.
4. Hill azh-Zhill (Menguraikan perkataan “Zhill”), sebuah kitab berbahasa Melayu yang bersifat polemik tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah.
5. Mâ’al-Hayât li Ahl al-Mamat (Air Kehidupan Bagi Orang-orang yamg Mati), sebuah kitab berbahasa Melayu tentang kebatilan ajaran Wujudiyyah dalam hal kesatuan alam dan manusia dengan Tuhan, keqadiman jiwa dan perbedaan syariat dengan hakikat.
6. Fath al-Mubîn ‘ala al-mulhidin
7. Hidayat al-Habib fi al Targhib wa al-Tarhib. Kitab hadits ini berisi 831 Hadits dalam bahasa Arab dan Melayu dan ditulis pada tahun 1045 H (1635 M). dua kitab ini (No.2 dan 3), ditulis di Semenanjung Tanah Melayu dan dibawa ke Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani
8. Jawahir al-‘ulum fi Kasyf al-Ma’lum.
9. Aina al-A’lam qalb an Yukhlaq.
10. Kaifiyat al-Salat. Ada sekitar 30 judul buku hasil karya Nuruddin Ar-Raniry yang sudah ditemukan hingga kini
Karya Ar-Raniry tersebut di atas, sebagian besar berhubungan dengan masalah Tasawuf. Di antaranya berkaitan dengan penolakannya terhadap paham panteisme yang di nilainya sesat dan uraian lengakap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka. Nubzah fi Da’wah az-Zil, misalnya memuat topik pemaparan tentang tasawuf dan merupakan penegasan aliran pemikirannya yang menilai konsep panteisme sesat. At-Tibyan fi Ma’rifah al-Adyan fi at-Tashawwuf, berisi uraian lengkap tentang perdebatan melawan pengikut Fansuri yang menjadi penyebab dikeluarkannya fatwa “hukuman mati” kepada mereka .
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari kajian terhadap konsep tasawuf Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri, dapat disimpulkan bahwa keduanya merupakan tokoh penting dalam sejarah intelektual Islam di Nusantara, khususnya dalam bidang tasawuf. Hamzah Fansuri mengembangkan ajaran tasawuf falsafi yang dipengaruhi oleh konsep Wahdat al-Wujud, dengan penekanan pada kesatuan antara Tuhan dan makhluk secara spiritual. Ia memandang bahwa keberadaan makhluk merupakan manifestasi dari wujud Tuhan yang absolut.
Sebaliknya, Nuruddin al-Raniri menolak pandangan tersebut dan mengedepankan tasawuf yang berlandaskan syariat dan akhlak. Ia menilai ajaran Wahdat al-Wujud sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran tauhid yang murni, sehingga memerlukan koreksi dan pelurusan. Perbedaan ini menunjukkan adanya dinamika dan dialektika dalam perkembangan pemikiran Islam di dunia Melayu.
Pertentangan antara keduanya tidak hanya mencerminkan perbedaan teologis dan filosofis, tetapi juga memperkaya khazanah pemikiran Islam di Nusantara. Kajian terhadap kedua tokoh ini membuka pemahaman yang lebih luas tentang keberagaman corak tasawuf serta pentingnya keseimbangan antara dimensi esoterik dan eksoterik dalam menjalankan ajaran Islam.
B. Saran
1. Bagi Peneliti Selanjutnya, disarankan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam terhadap karya-karya asli Hamzah Fansuri dan Nuruddin al-Raniri, baik dari segi filologis maupun kontekstual, agar pemahaman terhadap pemikiran keduanya semakin komprehensif.
2. Bagi Mahasiswa dan Akademisi, penting untuk mempelajari perbedaan pemikiran tasawuf secara objektif dan ilmiah agar dapat memahami keberagaman pandangan dalam Islam tanpa terjebak dalam penilaian yang sempit atau bias.
3. Bagi Pemerhati Budaya dan Sejarah Islam Nusantara, kajian ini diharapkan dapat mendorong upaya pelestarian dan pengembangan kembali pemikiran keislaman lokal sebagai bagian dari warisan intelektual yang berharga.
4. Bagi Umat Islam Secara Umum, diharapkan agar pemahaman terhadap tasawuf tidak hanya dimaknai secara teoretis, tetapi juga dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menekankan nilai-nilai akhlak, cinta, dan ketulusan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Surabaya: al-Ikhlas, t.t.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman, “Mempertimbangkan Kontribusi Charles Taylor terhadap Studi Agama di Indonesia”, dalam Jurnal Episteme, Vol. 11, No. 2, Desember 2016.
Ali, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
Arifin, Miftah, Sufi Nusantara: Biografi, Karya Intelektual dan Pemikiran Tasawuf, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1995.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. 9, Jakarta: LP3ES, 2011.
Drewes and Brakel, The Poems of Hamzah Fansuri, Dordrecht-Holland: Foris Publication, 1986.
Jurnal Syamsun Ni’am Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung , https://media.neliti.com/media/publications/178166-ID-hamzah-fansuri-pelopor-tasawuf-wujudiyah.pdf
Skripsi Kritik Nuruddin Al Raniri terhadap Hamzah Fansuri oleh Muhammad Zainurrafiq, http://repository.uinjkt.ac.id