TANJUNGPINANG KEPRI :
Ketika Istri Berbuat Nusuz
Oleh Satrio
1: Surat An-Nisa: 34
- Ayat dan Terjemah
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (34)
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkan. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha besar.” (QS.an-Nisa: 34)
- Kosakata Arab
قَوَّامُونَ : jama’ dari kata qawwam’ yakni orang yang melaksanakan sesuatu dengan sungguh-sungguh hingga hasilnya sempurna dan optimal, dapat diartikan juga penanggung jawab, pelindung, pemimpin.1
قَانِتَاتٌ : wanita yang tenang dan taat pada Allah dan suami.
حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ : wanita-wanita yang memelihara apa-apa yang tidak tampak oleh manusia.
نُشُوزَهُنَّ : berasal dari kalimat nasyazat yang artinya tinggi, maksudnya kedurhakaan mereka (istri) dan besar diri terhadap suami.
- Korelasi Ayat
Syeikh Wahbah Zuhaili menjelaskan tentang munasabah (korelasi) antara ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya, bahwasanya Allah ‘azza wa jalla menyebutkan dalam ayat ini tentang sebab kaum laki-laki lebih utama menjadi pemimpin daripada kaum perempuan2, dimana hal ini disebutkan setelah
Allah menjelaskan pada ayat sebelumnya tentang jatah warisan yang akan diperoleh masing-masing dari ahli waris yang berbunyi :
وَلِكُلٍّ جَعَلْنَا مَوَالِيَ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَالَّذِينَ عَقَدَتْ أَيْمَانُكُمْ فَآتُوهُمْ نَصِيبَهُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا (33)3
Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewaris. Dan (jika ada) orang-orang yang kalian telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
Dan juga larangan untuk iri hati terhadap seseorang atas karunia nikmat yang dianugerahkan kepadanya, sebagaimana firmanNya:
وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (32)4
Dan janganlah kalian iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih
banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
- Asbabun Nuzul
- Tafsir Fathul Qadir
Imam as-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini:
وَأَخْرَجَ عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ، وَابْنُ جَرِيرٍ، وَابْنُ المنذر، وابن أبي حَاتِمٍ عَنِ الْحَسَنِ: أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ لَطَمَ امْرَأَتَهُ فَجَاءَتْ تَلْتَمِسُ الْقِصَاصَ، فَجَعَلَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وَسَلَّمَ بَيْنَهُمَا الْقِصَاصَ، فَنَزَلَ: «وَلا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضى إِلَيْكَ وَحْيُهُ»5 فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَزَلَ الْقُرْآنُ الرِّجالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّساءِ الْآيَةَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرَدْنَا أَمْرًا
وَأَرَادَ اللَّهُ غَيْرَهُ»6.
“Diriwayatkan oleh abd bin humaid, ibnu jarir, ibnu mundzir dan ibnu abi hatim dari al-Hasan bahwa seorang lelaki dari kaum anshar menampar istrinya, lalu istrinya datang kepada rasulullah agar ia (suami) diqishash, lalu nabi mengabulkan tuntutan tersebut. Kemudian turun ayat ‘(…dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu…)’, dan nabipun terdiam. Setelah itu turun ayat lagi:’Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), dst’. Kemudian Nabi bersabda: (kita menginginkan sesuatu, Allahpun menginginkan sesuatu yang lain).”
- Tafsir al-Baghawi
Imam al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini:
نَزَلَتْ فِي سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ وَكَانَ مِنَ النُّقَبَاءِ وَفِي امْرَأَتِهِ حَبِيبَةَ بِنْتِ زَيْدِ بْنِ أَبِي زُهَيْرٍ- قَالَهُ مُقَاتِلٌ، وَقَالَ الْكَلْبِيُّ: امْرَأَتُهُ حَبِيبَةُ بِنْتُ مُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ- وَذَلِكَ أَنَّهَا نَشَزَتْ عَلَيْهِ فَلَطَمَهَا، فَانْطَلَقَ أَبُوهَا مَعَهَا إِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَفْرَشْتُهُ كَرِيمَتِي فَلَطَمَهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لِتَقْتَصَّ مِنْ زَوْجِهَا» ، فَانْصَرَفَتْ مَعَ أبيها لتقتصّ منه فَجَاءَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ارْجِعُوا هَذَا جِبْرِيلُ أَتَانِي بِشَيْءٍ»، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَرَدْنَا أَمْرًا وَأَرَادَ اللَّهُ أَمْرًا، وَالَّذِي أَرَادَ اللَّهُ خَيْرٌ» ، وَرَفَعَ الْقِصَاصَ7.
“Ayat ini turun pada kasus sa’ad bin al-Rabi’(salah seorang pemimpin masyarakat) dan istrinya yang bernama habibah bintu zaid bin abi zuhair (ini menurut muqatil, namun menurut al-Kalbi: istrinya bernama habibah bintu muhammad bin maslamah) dan kasusnya adalah istrinya berbuat nusyuz kepada suaminya lalu suaminya menamparnya. Kemudian dia (habibah) pergi bersama ayahnya menghadap Nabi sallallahu’ alaihi wasallam, lalu berkata:aku telah menidurkan (menikahkan) putriku tapi dia menamparnya. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “biarlah ia menqishas (membalas) menampar
suaminya, maka pergilah habibah beserta ayahnya untuk mebalasnya. Kemudian jibril datang dan nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “kembalilah, ini jibril datang kepadaku” Allah menurunkan ayat ini, lalu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membacanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersabda “aku menghendaki suatu perkara dan allah menghendaki suatu perkara, sedangkan apa yang dikehendaki allah itu lebih baik”, maka ia tidak jadi membalas menampar suaminya.
- Tafsir al-Baidhawi
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya menjelaskan tentang sebab turunnya ayat ini:
روي (أن سعد بن الربيع أحد نقباء الأنصار نشزت عليه امرأته حبيبة بنت زيد بن أبي زهير، فلطمها فانطلق بها أبوها إلى رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فشكى فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: لتقتص منه، فنزلت فقال عليه الصلاة والسلام: «أردنا أمراً وأراد الله أمراً والذي أراد الله خير»
“Diriwayatkan bahwa istri sa’ad bin ar-Rabi’ (salah satu pemimipin kaum anshar) yang bernama habibah bintu zaid bin abi zuhair telah berbuat nusyuz, lalu suaminya menamparnya. Kemudian ia bersama ayahnya pergi menghadap rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan melaporkan kasusnya, maka nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: dia harus diqishash dengan balasan yang setimpal. Setelah itu turunlah ayat (an-nisa: 34), dan nabi berkata: kita menginginkan sesuatu, Allahpun menginginkan sesuatu yang lain, namun yang diinginkan Allah itulah yang terbaik.”
- Tafsir Ayat
- Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir menyatakan dalam tafsirnya bahwa laki-laki adalah pemimpin, penguasa, kepala, dan guru pendidik bagi kaum wanita. Ini disebabkan karena berbagai kelebihan laki-laki itu sendiri atas wanita, sesuai dengan firman Allah:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita” (QS. al-Baqarah: 228).
Selain itu, hal yang menyebabkan laki-laki lebih unggul adalah karena ia mempunyai kewajiban untuk menafkahi istri dan anak-anaknya.
- Tafsir at-Thabari
Dengan nada yang sama, at-Thabari menegaskan,
bahwa kata qawwamun bermakna penanggung jawab, dalam arti bahwa laki-laki bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing wanita dalam konteks ketaatannya kepada Allah.9
- Tafsir al-Baghawi
Al-Baghawi dalam tafsirnya menyatakan bahwa maknanya adalah laki-laki (suami) berkuasa untuk mendidik wanita (istrinya). Artinya, laki-lakilah yang menjalankan berbagai kemaslahatan, pengaturan, dan pendidikan atas wanita karena kelebihan yang Allah berikan kepadanya atas wanita. Laki-laki memiliki kelebihan atas wanita dari segi akal, agama, dan kewalian. misalnya, laki-laki memiliki kelebihan dalam hal kesaksian, jihad, ibadah (seperti shalat Jumat dan shalat berjamaah), kebolehan menikahi sampai empat istri, hak talak, dalam warisan mendapat dua bagian, dan seterusnya. Semua itu tidak dimiliki wanita.10
- at-Tafsir al-Munir
Hal sama juga dinyatakan oleh Syeikh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya at-Tafsir al-Munir11
bahwa sebab kepemimpinan (yakni adanya kelebihan) laki-laki atas wanita ada dua, yakni:
- Adanya kelebihan dalam hal fisik penciptaan (jasadiyyah khalqiyyah).
Pada faktanya, pria memiliki bentuk penciptaan yang sempurna, pemahaman dan akal yang lebih kuat, perasaan yang lebih adil, dan tubuh yang kokoh. Pria memiliki kelebihan atas wanita dalam hal akal, pendapat, tekad, dan kekuatan. Oleh karena itu, pada pundak kaum prialah dibebankan risalah, kenabian, imamah kubra (khalifah, ataupun jabatan di bawahnya (imamah sughra), hakim, serta melakukan syiar-syiar agama—seperti azan, iqamat, khutbah, shalat Jumat, dan jihad. Wewenang menjatuhkan talak juga ada di tangan mereka. Mereka juga boleh berpoligami, memiliki kekhususan persaksian dalam kasus jinayat dan hudud, memiliki kelebihan bagian dalam pembagian waris, dll.
- Adanya kelebihan dalam hal nafkah
Adanya kelebihan dalam hal kewajiban untuk memberikan nafkah kepada istri dan kerabat dekat yang menjadi tanggungannya; mereka juga harus membayarkan mahar kepada kaum wanita untuk memuliakan mereka. Selain dua hal di atas, seorang laki-laki adalah setara dan sama dengan seorang wanita dalam hal hak dan kewajibannya. Inilah kebaikan Islam. Allah Subhanahu Wata’ala. berfirman:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“bagi laki-laki ada kelebihan satu tingkat dari wanita”. (QS al-Baqarah 228).
- Tafsir al-Qurthubi
Sementara itu, menurut Imam al-Qurthubi, laki-laki adalah pemimpin wanita karena kelebihan mereka dalam hal memberikan mahar dan nafkah; karena pria diberi kelebihan akal dan pengaturan sehingga mereka berhak menjadi pemimpin atas wanita; juga karena pria memiliki kelebihan dalam hal kekuatan jiwa dan watak. Surah an-Nisa’ ayat 34 ini juga menunjukkan kewajiban pria untuk mendidik wanita12.
- Tafsir as-Syaukani
Sedangkan Imam asy-Syaukani, ketika menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa pria adalah pemimpin wanita yang harus ditaati dalam hal-hal yang memang diperintahkan Allah. Ketaatan seorang istri kepada suaminya dibuktikan, misalnya, dengan berperilaku baik terhadap keluarga suaminya serta menjaga dan memelihara harta suaminya. Ini karena Allah telah memberikan kelebihan atas suami dari sisi keharusannya memberi nafkah dan berusaha13.
- Shafwatu at-Tafaasir
Syeikh Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitabnya
Shofwatu at-Tafaasir menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang derajat laki-laki dalam hal superioritas dan kepemimpinan lebih tinggi dibandingkan wanita. Hal ini dikarenakan beberapa keunggulan yang telah Allah berikan untuk laki-laki dari berbagai sisi, baik itu kekuatan akal, kekuatan fisik, kesabaran, keteguhan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, laki-laki dibebankan untuk menjadi tulang punggung untuk memenuhi kesejahteraan keluarga baik berupa harta belanja (nafkah) dan pengarahan, sebagaimana kewajiban seorang wali (penguasa) atas rakyatnya.
Pada ayat ini, Allah juga menjelaskan secara rinci tentang keadaan para wanita yang berada dalam kepemimpinan laki-laki. Allah telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita) tersebut terbagi dalam dua keadaan, yakni:
- 1. kelompok wanita shalihah dan taat
Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah dan suaminya selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah, senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari melakukan perbuatan keji, menjaga kehormatan mereka, menjaga harta suami dan anak-anak mereka, dan menjaga rahasia apa yang terjadi antara mereka berdua (suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga kerahasiaannya.
- kelompok wanita yang bermaksiat dan membangkang.
Hal ini berdasarkan ayat yang berbunyi: “wallati takhafuna nusyuzahunna” yang menunjukkan pada keadaan wanita yang kedua, yakni para wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni mereka yang menyombongkan diri dan meninggikan diri dari melakukan ketaatan kepada suami.14
Al-Qur’an menjelaskan beberapa peringatan yang boleh dilakukan suami terhadap istrinya yang harus dilakukan secara beraturan apabila istrinya dikhawatirkan melakukan nusyuz:
- Menasehatinya (istri-istri mereka).
- Menghindari atau memisahkan diri dari (istri-istri mereka) di tempat-tempat tidur.
- Memukul untuk tujuan mendidik
Jika perselisihan, pembangkangan dan pengacuhan terhadap kewajiban dan tanggung jawab telah melampaui batas, dan istri masih melanggar hukum, sehingga nasihat dan pemisahan tempat tidur serta pengacuhan suami terhadap dirinya tidak berpengaruh apapun terhadap dirinya dan tidak membuahkan hasil, maka pukul lah mereka (istri-istri mereka). Dalam hal ini, pukulan tidak boleh bersifat menyakiti atau melukai, oleh karenanya tidak diperbolehkan memukul area muka dan memukul hingga meninggalkan bekas luka.
Tentu saja, jika salah satu tahap ini sudah membuahkan hasil positif dan istri mulai melakukan kewajiban mereka maka suami tidak punya hal untuk menyakiti mereka dengan alasan apapun. Karena dinyatakan di dalam Al-Qur’am selanjutnya kemudian “jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya…”
2: Ketika Istri Berbuat Nusyuz
- Pengertian Nusyuz
- Etimologi
Kata Nusyuz berasal dari kosakata arab (النشوز ) yang mempunyai arti tempat yang tinggi dari permukaan bumi. Dalam hal ini, nusyuz bermakna kedurhakaan istri dan rasa besar diri terhadap suami.
- Terminologi
Secara Umum, ada dua pengertian yang agak berbeda dalam mendefinisikan Nusyuz secara istilah.
- Hanafiyah
خُرُوجُ الزَّوْجَةِ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا بِغَيْرِ حَقٍّ
Keluarnya istri dari rumah suaminya tanpa hak
- Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama dari kalangan madzhab Maliki, madzhab Syafii dan madzhab Hambali berbeda dengan madzhab hanafi ketika mendefinisikan nusyuz,
خُرُوجُ الزَّوْجَةِ عَنِ الطَّاعَةِ الْوَاجِبَةِ لِلزَّوْجِ
Keluarnya istri dari kewajiban taat pada suaminya
Kebanyakan ulama secara jelas dan terang sudah menyebutkan bahwa nusyuz adalah perbuatan menyimpang yang timbul dan dilakukan oleh seorang
istri kepada suaminya, bukan sebaliknya yaitu perbuatan menyimpang suami kepada istrinya.
Namun ada sebagian ulama yang menjelaskan bahwa nusyuz tidak hanya sebatas perbuatan menyimpang dari istri ke suami saja, namun juga berlaku sebaliknya. Ketika suami berbuat menyimpang kepada istrinya, maka hal tersebut juga disebut sebagai perbuatan nusyuz.
Syaikh Syarqawi mengatakan:
إِنَّ النُّشُوزَ يَكُونُ مِنَ الزَّوْجَةِ وَمِنَ الزَّوْجِ وَإِنْ لَمْ يَشْتَهِرْ إِطْلاقُ النُّشُوزِ فِي حَقِّ الرَّجُلِ
Bahwa Nusyuz bisa terjadi dari sang istri dan sang suami, meskipun hal ini (penyebutan nusyuz) tidaklah populer diarahkan kepada suami.
- Hukum Nusyuz
Semua Ulama sepakat bahwa perbuatan nusyuz adalah haram untuk dilakukan oleh seorang istri. Setidaknya, penyebab keharamannya tersebut bisa dilihat dari dua sisi:
- Durhaka kepada suami
Istri yang berbuat nusyuz, berarti dia sedang durhaka dan tidak mematuhi perintah suaminya. Menaati perintah suami adalah wajib dilakukan asalkan perintahnya masih dalam koridor syariat islam. Namun apabila perintah suami tidak sesuai dengan syariat islam, maka ketika istri tidak
mematuhinya, ia tidak dikategorikan sebagai istri yang berbuat nusyuz.
Imam ad-Dzahabi menyebutkan bahwa perbuatan nusyuz termasuk dari dosa besar;
الكبيرة السابعة و الأربعون :”نشوز المرأة على زوجها“
Dosa besar yang ke 47: “perbuatan nusyuz seorang istri kepada suaminya”
- Hukuman kepada Istri yang nusyuz
Didalam surat an-nisa ayat 34, Allah sudah memberikan arahan kepada para suami untuk mengambil sikap disaat istri berbuat nusyuz, yaitu memberikan hukuman kepadanya. Secara nalarnya, hukuman itu tidak mungkin diarahkan kecuali kepada orang yang telah melanggar sebuah aturan. Maka dari sisi inilah, perbuatan nusyuz bisa dikatakan sebagai tindakan yang haram dilakukan.
Adapun bentuk hukumannya apa saja, akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.
- Faktor Terjadinya Nusyuz
Diantara faktor yang menyebabkan terjadinya nusyuz dalam rumah tangga adalah:
- Kurang Memahami Karakter
Sepasang suami istri yang tidak memahami karakter antara satu dengan lainnya, maka berpotensi menyebabkan terjadinya nusyuz.
- Tidak Sekufu
Hal lain yang berpotensi terjadinya nusyuz adalah apabila kedua pasangan tidaklah sekufu, baik dalam segi ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Maka dari itu, syariat islam sudah memberikan arahan tentang hal ini ketika mau memilih pasangan.
- Tidak Tahu Hak dan Kewajiban
Apabila seorang suami atau istri tidak mengetahui apa saja hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada pasangannya, maka hal ini juga bisa dimungkinkan bisa menimbulkan tindakan nusyuz.
- Orang Lain Ikut Campur
Bisa saja ada faktor dari luar yang menyebabkan terjadinya nusyuz dalam sebuah hubungan rumah tangga, seperti misalnya adanya salah satu kerabat atau anggota keluarga yang ikut campur dalam urusan rumah tangga pasangan tersebut, padahal perkara tersebut bukan wilayahnya mereka.
- Bentuk Nusyuz
Secara garis besar, maka para ulama membagi perbuatan nusyuz menjadi dua perkara:
- Berkaitan dengan Hak Allah
- Ulama Malikiyah
Ulama malikiyah memandang apabila ada seorang istri yang tidak menunaikan hak Allah Subhanahu Wata’ala dan kewajibannya sebagai hambaNya, seperti tidak menunaikan kewajiban shalat tanpa adanya udzur, atau tidak mengerjakan puasa wajib tanpa udzur, maka menurut ulama malikiyah, hal ini
tergolong perbuatan nusyuz. Dan konsekuensinya adalah sang istri harus mendapatkan hukuman sebagaimana yang tertera dalam surat an-nisa ayat 34.
- Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama tidak sepakat dengan pendapat yang diutarakan oleh sekelompok ulama malikiyah. Jumhur Ulama berpendapat bahwa apabila ada seorang istri yang tidak menunaikan kewajibannya sebagai hamba Allah serta tidak memenuhi hak-hak Allah Subhanahu Wata’ala, maka hal tersebut tidaklah dikategorikan sebagai tindakan nusyuz.
- Berkaitan dengan Hak Suami
- Berperilaku Buruk Terhadap Suami
Ketika istri bersikap buruk kepada suaminya, seperti misalnya berperilaku tidak sopan kepada suami, atau melukai suaminya baik yang dilakukan lewat lisannya maupun ulah tangannya. Maka dalam hal ini, para ulama sepakat bahwa istri tersebut berhak untuk dididik oleh suaminya.
- Tidak Melayani Suami
Salah satu tujuan dari pernikahan adalah tersampaikannya hasrat biologis antara laki-laki dengan perempuan secara legal dan berada dalam koridor syariat. Maka menurut mayoritas ulama, apabila ada istri yang tidak melayani suami tanpa adanya udzur syar’i, maka hal itu bisa tergolong dari perbuatan nusyuz.
Ibnul Hajib dalam kitabnya Jaamiul Ummahat
menjelaskan bahwa tanda seorang istri yang nusyuz adalah ketika ia tidak mau melayani hasrat suaminya untuk jima atau sekedar istimta’.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
- Istri Tidak Mau Pergi sama Suaminya
Kejadian ini tak jarang terjadi diantara pasangan suami-istri. Dalam kitab Nihayatul Muhtaj, Imam Ar-Ramli menjelaskan bahwa ketika istri menolak untuk menemani suaminya bepergian, tanpa adanya alasan yang bisa ditolerir secara syariat, maka istri tersebut termasuk telah berbuat nusyuz.
Al-Buhuty dalam kitab Kassyaful Qina juga menjelaskan bahwa jika istri telah memperoleh mahar, lalu suaminya mengajaknya untuk bepergian, namun ia menolak tanpa ada alasan, maka istri tersebut telah berbuat nusyuz.
- Istri Keluar Rumah Tanpa Izin Suami
Yang dimaksudkan sebagai tindakan nusyuz adalah ketika sang istri keluar rumah tanpa adanya udzur tertentu, namun tidak izin terlebih dahulu kepada
suaminya. Apabila keluar rumah karena adanya udzur, maka tidaklah dikatakan sebagai tindakan nusyuz.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan hendaklah kalian tetap tinggal di rumah kalian….” (QS. al-Ahzab: 33)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan dalam tafsirnya, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ yakni tetaplah kalian berdiam dalam rumah kalian, jangan kalian keluar tanpa ada kebutuhan.” (Tafsir Al-Qur’anil Azhim, 6/245)
- Solusi Menghadapi Istri Nusyuz
- 1. Menasehati Istri
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
“…Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka…”(QS. An-Nisa: 34)
Sebagian ulama menjelaskan bahwa menasehati adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh suami ketika sang istri berbuat nusyuz. Ketika suami sudah memberikan nasehat kepada istrinya, namun sang istri masih membandel berbuat nusyuz, maka suami berhak mendidiknya dengan langkah yang kedua, yaitu memisahkan diri dari ranjang bersama istri.
Namun jikalau masih membandel lagi, maka suami mengambil langkah yang ketiga yaitu memukul istrinya. Adapun rincian dari langkah kedua dan ketiga aka dijelaskan di lembar setelahnya.
Berkaitan dengan cara menasehatinya, maka para ulama sudah menjelaskan etika dan tata caranya.
Ibnu Adil menjelaskan dalam kitabnya Al-lubab fii Uluumil Kitaab bahwa hendaknya suami memberi penjelasan kepada istri dan mengingatkannya tentang kewajiban seorang istri kepada suaminya.
Imam Ibnu Qudamah menambahkan bahwa sang istri mendapatkan ancaman dari Allah apabila istri tetap melawan suami dan tidak mau mentaatinya.
Imam Al-Kasani dalam kitabnya badai’us shanai’ juga menjelaskan bahwa hendaknya sang suami menasehatinya dengan cara yang halus dan lembut serta memberikan pengertian tentang gambaran istri yang sholehah itu bagaimana.
Dan hendaknya waktu menasehatinya dilakukan secara tertutup diantara kedua pasangan saja, bukan malah dilakukan secara terbuka dihadapan keluarga sang suami atau dihadapan keluarga sang istri.
Jika istri dapat menerima nasehat tersebut, maka suami tidak boleh melakukan hal yang lain sebagaimana disebutkan surat An-Nisa ayat 34:
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An-Nisa’: 34).
Jika setelah dinasehati istri masih melawan maka suami boleh melakukan tindakan berikutnya yaitu Hajr.
- Hajr
Hajr adalah langkah kedua yang bisa dilakukan suami ketika istri masih berbuat nusyuz. Hal ini sebagai langkah tegas dari suami untuk mendidik istrinya agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada suaminya.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
“…tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang)…” (QS. An-nisa’: 34)
Para ulama berselisih pendapat tentang batasan al-hajr (boikot istri) menjadi beberapa pendapat:
- Pendapat Pertama
Maksud dari hajr adalah suami tidak melakukan hubungan suami-istri beberapa saat meskipun keduanya tidur dalam satu kasur. Caranya adalah ketika suami tidur, maka posisi tidurnya dengan tidak menghadap ke istri tapi memalingkan diri dari istri.
Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Abbas, Imam al-Alusi, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
- Pendapat Kedua
Maksud dari Hajr adalah meninggalkan berhubungan suami istri dan tidak tidur dalam satu kasur namun tetap berkomunikasi seperti biasanya.
Syaikh Zakariya al-Anshari menjelaskan bahwa dengan tidak tidur bersama istri dalam satu kasur itu bisa menimbulkan efek jera yang akan dirasakan oleh sang istri, namun yang harus diperhatikan bahwa Hajr hanya dilakukan dalam hal pisah kasur saja, tidak berlaku hajr pada komunikasi.15
Al-bahuty menambahkan bahwa durasi melakukan hajr adalah tidak ada batasannya, sampai kapanpun boleh dilakukan oleh suami sampai sang istri dirasa sudah tidak nusyuz lagi.
- Pendapat Ketiga
Makna dari hajr adalah bukanlah suami meninggalkan hubungan jima’ kepada istrinya, namun hajr itu dengan cara tidak berbicara dan tidak berkomunikasi dengan istrinya.
Sufyan At-Tsauri, Ikrimah, Hasan al-Bashri dan sebagian ulama hanafiah menjelaskan bahwa tindakan hajr dilakukan dengan cara seperti ini karena hubungan jima adalah hak yang tidak bisa dipisahkan dari pasangan suami-istri. Maka apabila hajr dilakukan dengan meninggalkan hubungan jima’, ini menyebabkan dharar bagi keduanya. Dan meninggalkan per
itu lebih diutamakan daripada membuat kemashlahatan.
Imam al-Qurtubhi dalam kitabnya menjelaskan bahwa makna dari Hajr adalah sebuah perkataan keras yang menusuk dihati dan menyakitkan hati sehingga istri menyesal atas perbuatan nusyuznya.
Hal senada juga disampaikan oleh ibnu Nujaim dalam kitabnya al-Bahru ar-Raiq.
- Pendapat Keempat
Imam Al-Kasani menjelaskan cara mengHajr istrinya adalah dengan tidak berjima dengan istrinya ketika dalam perkiraannya sang istri sedang bersyahwat untuk melakukan hubungan jima’.
Maka tidak disebut sebagai Hajr ketika sang suami ingin jima dengan istrinya, karena Hajr adalah menahan berbuat jima dikala istri yang menginginkannya. Hal ini bertujuan agar istri merasakan efek jera.
- Memukul Istri
Dan inilah langkah yang ketiga untuk mendidik istri yang masih nekat berbuat nusyuz kepada suaminya, yaitu dengan memukulnya. Namun tidak kemudian suami memukul istri seenaknya sendiri, melainkan syariat islam sudah memberikan syarat-syaratnya.
Syarat Pertama
Diantara etika memukul istri adalah tidak memukul dengan pukulan yang keras dan meninggalkan bekas, sampai patah tulang atau
mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak dan semacamnya, karena maksud dari memukul tersebut adalah untuk mendidik, bukan melukai fisik sang istri. Maka tidak diperbolehkan jika pukulan yang dilayangkan ke istri layaknya Jackie Can memukul musuh-musuhnya ketika bertengkar.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji wada’ pernah meberikan nasehat,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” (HR. Muslim no. 1218).
Syarat Kedua
Diantara etika memukul istri yang kedua adalah tidak memukul diarea wajah dan area-area yang bisa mematikan fungsinya.
Adapun dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang hak istri atas suaminya, lalu beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعَمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبُ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ .
“Diantara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah.” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (VI/180 no. 2128), Ibnu Majah (I/593 no. 1850), dan Ahmad (IV/447), dari Mu’awiyah bin Hairah radhiyallahu ‘anhu]
Al-Bahuty menjelaskan alasan kenapa tidak diperbolehkan suami memukul wajah istrinya adalah sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan wanita, karena wajah adalah salah satu tolak ukur dari keindahan wanita.
Syarat Ketiga
Suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah disyari’atkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri tidak akan bisa tercapai dengan cara ini.
Imam ar-Ramli dalam kitabnya nihayatul Muhtaj menjelaskan:
إذا علم أنه لا يفيد فيحرم ؛ لأنه عقوبة بلا فائدة وإنما
ضرب للحد والتعزير مطلقا
Jika diketahui bahwa pukulannya tersebut tidak bisa memberikan efek, maka hal tersebut haram untuk dilakukan, karena hukuman tersebut tidak berfaedah sedangkan adanya pukulan itu bertujuan untuk efek jera secara mutlak
Syarat Keempat
Jika istri berhenti berbuat nusyuz dan telah mentaati suaminya, maka tidak boleh suami memukulnya lagi, karena esensi dari memukul adalah sebagai wasilah/perantara saja, bukan sebagai tujuan. Kalau sampai masih memukul istri padahal ia sudah tidak berbuat nusyuz, maka ini adalah tindakan dzalim. Allah Ta’ala berfirman:
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Imam al-Qurthubi menjelaskan tentang tafsir dari ayat diatas, bahwa ketika istri tidak lagi berbuat nusyuz maka hendaknya sang suami tidaklah menganiaya istrinya baik dengan perkataan maupun perbuatan.
- Nafkah Untuk Istri Nusyuz
Yang menjadi permasalahan selanjutnya adalah ketika istri yang nusyuz sudah dihukum dengan tiga cara diatas, namun ia masih tetap bandel, maka apakah sang suami masih diwajibkan untuk menafkahinya atau otomatis menjadi gugur lantaran istri sudah keterlaluan dalam berbuat nusyuz?
Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan menjadi dua pendapat:
- Pendapat Pertama
Istri yang berbuat sudah keterlaluan dalam nusyuz, maka ia tidak mempunyai hak nafkah dan hak tempat tinggal dari suaminya. Pendapat ini disampaikan oleh sebagian besar ulama dari madzhab hanafi, maliki, syafii, hambali, alhasan, az zuhri, abu tsaur, dan lain sebagainya.
Dalil
Adapun dalil yang dipakai oleh kelompok ulama pada pendapat pertama ini adalah:
- Ijma’
Imam Ar-Ramli dalam kitabnya an-nihayah dan Ibnul Humam dalam kitabnya Fathul Qadir menyatakan bahwa perkara ini sudah menjadi konsensus diantara para ulama.
- Dalil Akal
Adanya kewajiban nafkah dari sang suami adalah sebagai ganti dari ketenangan dan kebahagiaan yang diperoleh dan dirasakan bersama istri. Maka ketika
istri sudah tidak lagi memberikan ketenangan dan kebahagiaan kepada suaminya, maka kewajiban nafkahpun ikut gugur bersamaan dengan itu.
- Pendapat Kedua
Meskipun Istri yang sudah keterlaluan dalam nusyuz kepada suaminya, maka ia tetap mendapatkan hak nafkah dari suaminya. Pendapat ini disampaikan oleh al-hakam bin ‘utaibah, ibnu hazm addzohiri dan ibnul qasim dari ulama madzhab maliki.
Dalil
- Al-Quran
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Ayat diatas mengindikasikan bahwasanya istri yang berbuat nusyuz hanyalah dihukum dengan memberikan nasihat kepadanya, lalu pisah ranjang dengannya dan memukul dengan pukulan yang tidak sampai membekas. Allah tidak menjelaskan tentang kewajiban nafkah suami yang gugur gara-gara istri berbuat nusyuz.
- Hadits
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh jabir bin abdullah ketika Nabi menyampaikan pesan dihari arafah:
…وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ...
“…dan hak mereka (isteri-isteri) atasmu adalah rizki dan pakaian mereka dengan baik…”
Hadits diatas menerangkan bahwa rasulullah menyampaikan hak seorang wanita secara umum untuk mendapatkan hak nafkah dari suaminya, baik istri yang taat, atau nusyuz, atau belum digauli dan lain sebagainya. Beliau tidak mengkhususkan bahwa istri yang nusyuz itu tidak boleh mendapatkan hak nafkah dari suaminya, maka apa yang menyebabkan istri yang nusyuz tidak boleh mendapatkan hak nafkah dari suaminya?