Hukum Melamar Dan Melihat Calon Pasangan Oleh Satrio,M.A

1.165 Lihat

TANJUNGPINANG KEPULAUAN RIAU :

Hari ini hari yang penuh berkah induk dari segala hari yaitu hari Jumat 28 / 5 / 2021,Penulis akan mencoba menjelaskan terkait soal hukum melamar seseorang apakah boleh melihat calon pasangan.Ini terkait ada pertanyaan yang muncul

Dalam rangka mengedepankan trasnparasni tidak ada dusta diantar calon pasangan dalam menjalankan ikatan suci sebuah pernkahan.Maka dalam prosen melamar simak penjelasan di bawah itu beserta dalil .

Sekalipun khitbah hukumnya dimubahkan dan sunnah menurut Syafi’iyah, namun tidak sembarangan melakukannya. Ada sejumlah aturan main dalam syariat Islam yang harus dipatuhi terkait melamar ini. Ada sejumlah ayat dan hadist dengan status yang dishahihkan oleh sebagian besar ulama yang menarah kepada adab dalam melakukan lamaran dan selama lamaran itu terjalin.

  1. Melihat Calon yang Dikhitbah

Memang disarankan bagi setiap orang untuk melihat calon pasangannya. Sebagaimana dalam sejumlah hadist berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ»، قَالَ: فَخَطَبْتُ جَارِيَةً فَكُنْتُ أَتَخَبَّأُ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِي إِلَى نِكَاحِهَا وَتَزَوُّجِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Rasulullah saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya.” Jabir berkata; kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya. (HR. Abu Daud).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كُنْتُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَزَوَّجَ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنَظَرْتَ إِلَيْهَا؟»، قَالَ: لَا، قَالَ: «فَاذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا»

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata,”Saya pernah di tempat kediaman Nabi, kemudian tiba-tiba ada seorang laki-laki datang memberitahu, bahwa dia akan kawin dengan seorang perempuan dari Anshar, maka Nabi bertanya: Sudahkah kau lihat dia? Ia mengatakan: Belum! Kemudian Nabi mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, karena dalam mata orang-orang Anshar itu ada sesuatu. (HR. Muslim)

  1. Hukum Melihat Calon Istri/Suami

Melalui hadist-hadist di atas, Jumhur ulama dari kalangan Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, As Syafi’iyyah, dan beberapa golongan dari Al hanabilah

berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah melihat calon pasangannya saat khitbah.

Sementara Al Hanabilah berpendapat bahwa hadist-hadist di atas sekedar mengarah kepada kebolehan saja9.

  1. Batasan Bagian Badan yang Boleh Dilihat

Dalam hal ini Jumhur ulama yaitu mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah sepakat bahwa wajah dan kedua tangan hingga pergelangan tangan termasuk bagian tubuh wanita yang boleh dilihat oleh calon suaminya. Sebab kedua bagian tubuh itu memang bukan termasuk aurat.

Bagian tubuh selain keduanya tentu merupakan aurat bagi wanita, sehingga walaupun dengan alasan anjuran melihat calon istri, tetap saja seorang calon suami masih diharamkan untuk melihatnya. Sebab biar bagaimana pun juga, status calon suami 100% masih lakilaki ajnabi, yang kedudukan sama persis dengan laki-laki ajnabi manapun di dunia ini.

Namun ada riwayat dari mazhab Al-Hanafiyah yang menyebutkan bahwa kedua kaki hingga batas pergelangan atau mata kaki juga bukan termasuk aurat.

Para ulama di dalam mazhab Al-Hanabilah saling berbeda pendapat mengenai batasan ini. Sebagian berpendapat sebagaimana umumnya pendapat jumhur ulama, bahwa yang boleh dilihat hanya sebatas wajah dan kedua tanggan hingga

pergelangannya. Namun sebagian lagi membolehkan lebih dari itu, yaitu termasuk wajah, leher, tangan dan kaki10 .

  1. Tidak Bersentuhan dan Berduaan

Khitbah tidak membuat seseorang yang diterima lamarannya kemudian bebas melakukan ‘akses’ kepada calonnya. Statusnya masih sama seperti ajnabi, orang yang bukan mahram baginya. Maka bersentuhan tentu tetap dilarang, apalagi berduaan, meskipun keluar berduaannya ke majlis taklim pengajian fiqih tetap dilarang, apalagi keluar di malam minggu ke bioskop atau mall.

Jumhur ulama umumnya mengharamkan sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, meskipun dalam rangka untuk menikahinya11.

Meskipun dianjurkan untuk melihat calon istri, namun dalam prakteknya tidak boleh dilakukan hanya berduaan. Sebab berduaan dengan wanita yang masih belum halal menjadi istri adalah perbuatan yang diharamkan, sebagaimana hadis berikut ini :

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ»

Tidaklah seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan, karena yang ketiganya

adalah setan. (HR. At-Tirmizy)

  1. Dilarang Meminang Wanita yang Telah Dipinang

Istilah “nikung” yang kerap dipakai anak muda zaman sekarang yang bermakna mengambil atau menyerobot calon istri orang, ternyata konsepnya juga sudah ada di zaman dahulu, bahkan larangannya juga termaktub dalam hadist yang shahih.

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَا يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ» . مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Dari Ibnu Umar radiallahu anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Janganlah salah seorang dari kalian melamar (wanita) yang sudah dilamar saudaranya hingga orang yang melamar sebelumnya meninggalkannya atau dia mengizinkannya.” (Muttafaq alaih, redaksi berasal dari riwayat Bukhari)

لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا يَسُومُ عَلَى سَوْمِ أَخِيهِ

“Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya “ ( HR Muslim)

Ada banyak kesimpulan hukum yang bisa dirinci dalam memaknai hadist ini, sesuai dengan

penjelasan para ulama:

  1. Hadits ini berisi larangan nikung tunangan orang, sementara dalam Kaidah ushuliyah, setiap ada redaksi larangan dalam dalil yang tidak diikuti oleh dalil lain yang mengalihkannya atau menjadi pembandingnya, maka hukum asalnya adalah haram. Dari sini para ulama umumnya menjadikan hadits ini sebagai landasan diharamkannya melamar wanita yang sudah dilamar orang lain. Kecuali Al-Khatabi yang berpandangan bahwa larangan dalam hadits ini sifatnya peringatan, bukan diharamkan.
  2. Secara tekstual hadits ini bersifat pelarangan yang mutlak, entah khitbah yang pertama sudah dijawab setuju atau belum. Namun umumnya para ulama berkesimpulan bahwa khitbah yang tidak boleh disusul dengan khitbah berikutnya adalah khitbah yang sudah mendapatkan jawaban setuju. Adapun jika khitbah tersebut belum mendapatkan jawaban setuju, maka tidak termasuk larangan ini. Artinya boleh orang lain datang melamarnya.
  3. Merujuk kepada teks hadits tersebut, dibolehkan melamar wanita yang sudah dilamar, jika orang pertama yang melamar mengizinkan orang lainnya untuk melamar, atau mengizinkan wanita tersebut dilamar selama masa khitbahnya atau jika dia membatalkan lamarannya.
  4. Adanya kebolehan membatalkan lamaran tanpa adanya konsekuensi apapun, baik dari pihak laki-laki maupun wanita. Tapi pembatalan tersebut hendaknya berdasarkan alasan-alasan syar’i atau masuk akal. Tidak dibolehkan menjadikan khitbah sebagai bahan permainan.
  5. Sebaiknya tidak membiarkan calon untuk menunggu lama masa khitbah ke pernikahan dengan durasi yang lama, sehingga nanti hatinya tertarik kepada orang lain. lebih cepat durasi khitbah ke pernikahan maka lebih baik.
  6. Dalam redaksi Hadits ini ada unsur memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya menjaga hak dan perasaan orang lain. hal ini bertujuan tak lain adalah supaya tercipta kerukunan dan terhindar dari permusuhan.

Demkianlah penjelasa bagaimana hukum melamar dan melihat calon pasangan beserta dalil menunurul Ulama mazhab,bahwa boleh dengan catatan melihat yang tidak termasuk aurat,tentu aurat sesuat yang di haramkan untuk di lihat.Maka nya ketika sesorang melihat calon pasangan di dampingi dengan yang mahram keluarga.

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *